Di negara ini, rupanya orientasi seksual seseorang adalah perkara yang luar biasa penting. Seorang lelaki harus menyukai perempuan, demikian pula sebaliknya. Jika tidak, dia akan dijadikan bulan-bulanan: dicemooh, ditertawakan, dilecehkan. Nah, dalam hal leceh-melecehkan ini, televisi pegang peranan yang begitu besar.
Saya merasa sangat miris ketika Rian Jombang diwawancarai tentang kehidupan seksualnya. Dalam berbagai tayangan infotainmen, dengan senyum khasnya yang nyebelin Rian bilang ia dan artis Indra Brugman pernah pacaran. Bahkan, ia menambahkan fakta bahwa Indra punya pantat yang bagusnya luar biasa.
“Saya punya rekaman adegan ranjang antara saya dan Indra dalam bentuk CD, tapi saya nggak bisa ceritakan detailnya karena takut kena UU APP. Yang jelas kejadiannya di ranjang sebuah hotel, saya dan Indra nggak pakai apa-apa. Indra itu pantatnya bagus.” kata Rian dari balik jeruji besi.
Ucapan Rian yang terakhir ini mengundang tawa. Wartawan langsung menyoraki, dan Rian tersenyum malu-malu seolah mengamini bahwa itu hal yang lucu dan bikin gemes. Di sinilah saya merasa miris. Tertawanya para wartawan, dan mungkin para penonton yang menyaksikan di rumah masing-masing, bukan karena bentuk pantat memang perkara yang layak ditertawakan, tapi karena pujian ini datang dari seorang homoseksual kepada sesama jenisnya.
Bayangkan jika seandainya adegan memuji pantat ini dilakukan oleh pasangan heteroseksual seperti Aldi Taher dan Dewi Perssik. Paling-paling kita hanya akan berkata bahwa mereka mengumbar kemesraan, obral pujian, dan lain-lain. Tapi ketika yang berkata adalah Rian dan yang dipuji Indra Brugman, orang lantas merasa lucu, lalu menertawakan.
Apa yang kita lihat di sini adalah diskriminasi yang terlalu sadis bagi kaum homoseksual. Mentang-mentang mereka dianggap menyimpang, lantas apa yang mereka rasakan sah-sah saja dieksploitasi sebagai lelucon. Mengapa kita tidak bisa menganggap bahwa pujian dari seorang homoseksual kepada sesama jenisnya adalah juga ekspresi perasaan?
Kita merasa homoseksualitas adalah hal yang salah, maka pantas ditertawakan dan dicemooh. Padahal bukankah ia hanya salah karena tidak dominan? Ya, homoseksualitas dan heteroseksualitas sebenarnya juga masalah wacana belaka, dan wacana adalah perkara kuasa. Karena kaum heteroseksual lebih dominan, maka ia punya hak untuk memarjinalkan kaum homoseksual.
Seandainya Rian dan Indra sama-sama mengaku bahwa mereka memang pasangan homoseksual, lantas saling memuji bentuk pantat masing-masing, tentu lain soal. Justru di sini kedewasaan kita untuk menerima perbedaan diuji. Menayangkan kemesraan pasangan homoseksual akan menjadi sebuah latihan yang sangat bagus bagi masyarakat kita untuk tidak berpikiran sempit.
Tapi, semua pembelaan kritis ini menjadi tidak berarti ketika kita melihat sepak terjang Rian dalam setiap sesi wawancaranya. Perhatikan bahwa ia selalu memunculkan citra terbuka mengenai orientasi seksualnya, termasuk komentarnya mengenai pantat Indra Brugman. Manusia yang sehat hati dan akalnya pasti bisa merasakan bahwa tidak peduli apakah Indra seorang homoseks atau tidak, eksploitasi tubuhnya oleh media lewat komentar-komentar Rian adalah sebuah hal yang jelas kejam. Rian sendiri bukannya tidak sadar sedang ditertawakan, toh ia tetap tidak mengerem mulutnya. Nah, di sini kita boleh curiga bahwa Rian sebenarnya sedang berupaya memasarkan diri sendiri.
Ketika Rian membicarakan tentang bentuk pantat Indra Brugman di hadapan para wartawan, ia merasa senang karena dibanjiri perhatian. Sensasi keterkenalan yang dia dapatkan membuatnya mabuk kepayang. Tak heran ia terus mempersiapkan amunisi sensasi. Buku biografi dirinya sudah terbit. Lalu setelah Indra, dia mengaku ‘mengenal’ presenter Dave Hendrik dan pesohor senior Dorce Gamalama. Ini apa namanya kalau bukan jualan?
Logikanya begini. Dari orang biasa menjadi narapidana paling terkenal se-Indonesia, Rian kini bisa dikatakan seorang pesohor. Dan seperti layaknya pesohor manapun, ia harus bisa memelihara popularitasnya, walau dengan cara yang paling rendah seperti membicarakan bentuk pantat orang lain sekalipun.
Rasanya kok naif sekali bila dikatakan Rian hanya sebatas mencurahkan perasaan. Televisi tidak punya hati untuk bersimpati terhadap Rian yang patah hati, tapi punya banyak sekali waktu untuk mengekspos detil-detil hubungannya dengan Indra. Semakin vulgar malah semakin bagus.
Mulut Rian memang tidak mungkin ditahan. Ia bebas mau bicara apa saja. Tapi apakah berarti semua yang dia katakan lantas harus disiarkan? Seharusnya televisi bisa melakukan sensor dari dalam. Bagaimanapun kotak ajaib itu adalah tempat paling ideal untuk menyebarkan ide, gagasan, bahkan cara pandang. Alih-alih membaca, masyarakat kita punya budaya menonton yang lebih dominan.
Memang, semakin kontroversial sebuah pernyataan, semakin tinggi nilai beritanya, semakin banyak pula duit yang masuk. Tapi apakah yang dicari semata uang? Jika jawabannya ya, alangkah murahnya harga diri televisi kita!
(dimuat di Suara Merdeka edisi Minggu, 1 Maret 2009 dengan perubahagn judul)
luar biasa anda keren sekali.. saya baca ini (baru baca ini) ditengah tengah penat mengerjakan pekarjaan kantor.. membantu sekali membangkitkan mood booster.. salut #semoga tidak terlambat membaca tulisan tulisan selanjutnya setelah ini. terimakasih. keep Rock! =D
ReplyDelete@Erlin: Hai! Terima kasih ya sudah baca, dan selamat datang di blog saya :)
ReplyDelete