Oleh: Andina Dwifatma
OKTOBER 2010. Jakarta dan sekitarnya sedang seru-serunya diguyur hujan. Gubernur Fauzi Bowo mendapat kecaman setelah memberi pernyataan bahwa yang kerap terjadi di ibukota bukanlah banjir, tetapi “.. hanya genangan.”
Sebagai wujud protes, di Twitter warga Jakarta ramai-ramai memparodikan slogan kotanya menjadi ‘BERKUMIS’ alias ‘BERdebar KalaU geriMIS’. Nah, slogan inilah yang melintas di kepala ketika suatu Sabtu sore saya membelah jalanan kampung dari Ciputat menuju Bintaro. Titik-titik hujan yang tipis dan runcing mulai bermunculan, dan persis seperti parodi di atas, saya langsung berdebar-debar. Saya punya janji bertemu seseorang di Bakoel Koffie, sebuah kafe di dekat mal Bintaro Plaza, pada pukul empat sore. Tetapi gerimis seolah menjadi pertanda saya tak bakal tepat waktu.
Jam di dasbor menunjukkan pukul empat lewat enam menit. Dengan tangan kiri saya mengetik pesan singkat di ponsel, mengabarkan keterlambatan.
Pesan terkirim. Balasan segera datang.
“It’s okay. Gw sante hr ni.” (It’s okay. Gue santai hari ini). Saya mengembuskan napas lega.
Pukul lima tepat akhirnya saya tiba. Boy, seorang remaja lelaki berusia 19 tahun, sudah menunggu. Ia duduk di pojok, menghadapi satu gelas besar es kopi caramel. Tangannya melambai penuh semangat ketika wajah saya nongol di pintu. Saya balas melambai, mampir sebentar ke konter, memesan segelas Americano (kopi hitam tanpa ampas) panas dan sepotong cheese cake stroberi, lalu duduk berhadapan dengan Boy.
Sekali lagi saya meminta maaf karena sudah membuatnya menunggu.
Boy mengibaskan tangan. “Santai aja, lah,” katanya, mengulangi kalimat dalam pesan singkatnya. Ia lalu meminta saya mengomentari penampilannya hari itu. Boy mengenakan kaus putih bertuliskan “I ♥ BTK” di atas celana jins biru tuanya. Logo jantung dicetak bermotif batik. “Sesuai janji gue di telepon kemarin, kan?” kata Boy sambil nyengir.
Saya tersenyum.
***
Boy saya kenal sebagai pelanggan tetap studio musik milik kakak laki-laki saya di daerah Pamulang. Saban minggu, Boy dan teman-teman satu band-nya selalu menyempatkan diri untuk latihan barang beberapa lagu. Kadang lagu orang, kadang lagu sendiri. Seperti remaja pada umumnya, Boy dan kawan-kawannya menyimpan obsesi menjadi musisi handal dan karenanya mereka berlatih secara teratur.
Anak-anak ini selalu mengobrol dengan kakak saya usai berlatih. Karena beberapa kali ikut nimbrung obrolan mereka, lambat laun kami menjadi akrab. Boy menarik perhatian saya karena sering terlihat mengenakan kaus-kaus dengan gambar cetak yang unik, seperti wayang dan pahlawan nasional, Menurut Boy, kaus itu dibelinya di gerai Damn! I Love Indonesia milik Daniel Mananta yang sempat popular sebagai VJ (video jockey) MTV. Kaus “I ♥ BTK” termasuk yang beberapa kali Boy kenakan, dan ia setuju akan memakai kaus itu ketika kami bertemu.
Boy menyukai disain kaus-kaus Damn! I Love Indonesia karena membuatnya bisa menunjukkan kecintaannya pada negara, sekaligus bergaya.
“Pas makai, rasanya bangga banget, kayak kita tuh peduli sama negara ini, nggak apatis. Disainnya juga keren, nggak pasaran. Jadi bisa bergaul ke tempat-tempat yang asyik, ke mal, ke konser musik, tapi tetap nasionalis. Kayak Agnes (Monica-pen), begitu juga. Nunjukin rasa cinta sama Indonesia,” katanya sambil mengaduk-ngaduk minuman. Boy tercatat sebagai mahasiswa semester pertama jurusan akuntansi sebuah universitas swasta di Jakarta.
Tetapi mengapa harus dalam bahasa Inggris?
Pertanyaan ini membuatnya berpikir. Ia mengernyitkan dahi sambil menatap saya, seperti sedang mencoba merumuskan kata-kata yang tepat. “Yah, mungkin karena bahasa Inggris itu kesannya lebih keren, lebih modern, jadi lebih cepat masuk ke anak muda,” kata Boy akhirnya. “Bahasa Indonesia itu kalo yang baik dan benar kayak kaku gitu, jadi dimasukinnya susah.”
Pelayan datang membawakan pesanan saya.
“Lagipula Daniel, kan, lama di Australi(a) ya, kalau nggak salah. Jadi dia masih kebawa-bawa bahasa Inggris. Terus dia juga mantan VJ. Terbiasa banget sama bahasa asing, ya, bahasa Inggris. Kita ngikut-ngikut aja, karena kesannya memang cool. Kalau pakai kaus tulisannya Sialan! Saya cinta Indonesia, kedengarannya agak gimanaaa.. gitu, ya. Nggak pantes,” Boy terkekeh sendiri.
***
Daniel Mananta pertama kali meluncurkan produk label busananya, Damn! I Love Indonesia pada bulan Oktober 2008 di FX Plaza, Jakarta Selatan. Inspirasinya dari Sumpah Pemuda. Dalam salah satu sesi wawancara dengan sebuah media online, Daniel menyebut label busananya itu sebagai wujud kecintaannya terhadap Indonesia yang kaya akan budaya.
“Makanya dengan kata I Love Indonesia itu generasi muda akan lebih mencintai Indonesia,” kata Daniel, seperti dikutip dari kapanlagi.com.
Diceritakan pula bagaimana Daniel sudah mengincar Amerika Serikat sebagai lokasi ekspor produknya agar dapat mempromosikan budaya Indonesia di negeri Paman Sam itu. Ia memodifikasi gambar-gambar wayang, juga kaus bertuliskan “I ♥ BTK (batik)”. Daniel berharap disainnya itu bisa jadi ikon. “Soalnya yang sudah beredar sekarang tulisannya I Love New York,” katanya.
Ikon yang dimaksud Daniel adalah logo yang dirancang Milton Glaser, seorang perancang grafis asal New York, pada tahun 1970-an. Milton terdorong menciptakan logo tersebut sebagai ikon pariwisata kotanya. Waktu itu turisme di New York sedang lesu, kurang promosi dan situasi serba susah. Tahi anjing berceceran di jalan raya karena belum ada aturan denda US$100 bagi warga yang membiarkan binatang peliharaannya berak di jalan raya.
Milton tadinya memaksudkan logo tersebut sebagai bentuk aksi kampanye tiga bulan, meski kemudian terbukti justru mendunia. Di New Cross, London, muncul logo bertuliskan I ♥ NX. Hal yang sama juga terjadi di Boston (I ♥ Boston), Los Angeles (I ♥ LA), San Francisco (I ♥ SF), bahkan Argentina (I ♥ AR) dan di Como, Italia, (I ♥ C). Logo rancangan Milton mendunia. Miliaran dolar mengalir dari sebuah disain sederhana yang bahkan hanya terdiri dari tiga warna. Jadi, tak salah jika Daniel berharap I ♥ BTK bisa jadi ikon serupa.
Yang mungkin Daniel tidak tahu, Milton Glaser melakukannya secara pro bono.
***
Saya menemui Putri (14), pelajar kelas 1 SMA negeri di Jakarta, untuk membicarakan tentang program Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) yang ia ikuti. Konon dalam program RSBI, setiap pelajaran menggunakan pengantar dalam bahasa Inggris. Buku pelajarannya pun seperti kitab suci dwibahasa; halaman kiri menggunakan bahasa Indonesia, halaman kanan bahasa Inggris. Saya penasaran apakah RSBI juga turut andil pada kecintaan remaja kita pada bahasa asing.
“RSBI justru bikin bahasa Inggris kita belepotan,” tandas Putri. “Gurunya nggak 100% ngomong Inggris. Soal ulangan pun bahasanya campur-campur. Dan kalau kepepet mau belajar, kami nggak baca buku pelajaran yang bahasa Inggris, soalnya nanti harus mikir dua kali.”
Tetapi, Putri setuju jika dikatakan remaja seusianya cenderung lebih senang menggunakan bahasa Inggris ketimbang bahasa Indonesia. Menurutnya itu adalah pengaruh jaringan sosial yang mengglobal. “Misalnya aja di Twitter, temen-temen seringnya ngetwit pakai bahasa Inggris. Ya, jangan disalahin juga, soalnya selebriti-selebriti juga suka begitu, remaja jadi ikut-ikutan. Memang susah,” katanya.
Putri sendiri mengaku tidak fanatik bahasa Inggris. Menurutnya bahasa Inggris sama saja dengan bahasa lain. Sambil terkekeh ia bercerita bahwa di kelasnya, sudah menjadi rahasia umum para murid lebih takut ulangan bahasa Indonesia daripada bahasa Inggris. “Apalagi kalau sudah belajar awalan, akhiran, partikel, imbuhan, majas.. wah, pada nyerah,” ungkapnya. Putri juga menambahkan banyak pelajar yang belum bisa membedakan kapan awalan di¬- itu dipisah atau digabung. Yang lebih gawat, hal itu tidak dipandang sebagai sesuatu yang krusial.
“Di kalangan wartawan juga banyak yang begitu,” kata saya, dan kami tertawa.
Dalam perjalanan pulang naik TransJakarta, saya berpikir, barangkali di antara tiga butir Sumpah Pemuda, butir ketiga, yakni cinta bahasa, adalah poin yang paling sulit diwujudkan. Kebutuhan menggunakan bahasa asing seolah menjadi tanda ketercakupan identitas remaja Indonesia sebagai warga dunia. Bisa jadi ini juga sisa-sisa sindrom pascapenjajahan yang selalu melihat apa pun yang datang dari Barat sebagai sesuatu yang lebih ‘tinggi’ derajatnya.
Atau barangkali, cinta Indonesia bukan berarti juga cinta bahasanya..
*seperti diikutkan dalam Kompetisi Menulis Kompas Gramedia Group of Magazine, 2010.
Mereka Cinta (Bahasa) Indonesia?
17 December, 2010
Tags
kajian budaya
komunikasi
Andina is an Indonesian author. Her debut novel, "Semusim, dan Semusim Lagi" (GPU, 2013) won Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2012. Her second novel, "Lebih Senyap dari Bisikan" (GPU, 2021) was nominated for Penghargaan Sastra Badan Bahasa 2021. She is also a lecturer at the School of Communication, Atma Jaya Catholic University, Indonesia.
loading..
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
"Kebutuhan menggunakan bahasa asing seolah menjadi tanda ketercakupan identitas remaja Indonesia sebagai warga dunia. Bisa jadi ini juga sisa-sisa sindrom pascapenjajahan yang selalu melihat apa pun yang datang dari Barat sebagai sesuatu yang lebih ‘tinggi’ derajatnya."
ReplyDeletebisa juga dikaji, bagaimana bahasa asing sudah jadi semacam alat atau cara untuk mencapai kehidupan yang lebih tinggi, dalam hal ini, ekonomi... berbeda dengan Iran yang menjadikan bahasa Persia mereka bahasa yang utama, karena menyangkut logika dan dalam hal lain, bahasa sangat penting dalam pola sosial masy.
selain itu, bisa dilihat juga, dari dulu Inggris kita kenal dengan semangat ekspansinya, mereka negara industrialis, jadi wajar bahasa masuk ke semua aspek, juga pengetahuan... nah, kalo saya pikir, kasus Boy itu masuk ke soal ini, Bahasa Inggris sebagai bahsa industri...
Sy sering bingung dengan dilema bahasa Indonesia vs Inggris ini. Bagaimana kiranya cara belajar atau mengadaptasi bahasa Inggris yang tidak akan dihakimi sebagai kebarat2an atau divonis "melihat apa pun yang datang dari Barat sebagai sesuatu yang lebih ‘tinggi’ derajatnya". Karena nyatanya bahasa Inggris adalah sebagai bahasa komunikasi dunia apalagi dalam dunia bisnis atau dalam bidang pekerjaan yg semakin mengglobal ini. Kemampuan berbahasa Inggris sudah menjadi prasyarat mutlak utk bisa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan terutama sangat dirasakan pekerja/pelajar/mahasiswa/atau siapa pun yang berhubungan dengan teknologi.
ReplyDeleteSy yakin salah satu faktor kemajuan negara2 tetangga bisa lebih maju dari negara kita adalah krn penguasaan bahasa Inggris oleh masyarakatnya. Bandingkanlah INA dengan MAL. Hanya saja memang perlu ada usaha agar kita tetap mencintai bahasa ibu sendiri. Contoh spt negara2 yang memiliki sistem aksara dan bahasa sendiri spt Jepang, China, Korea, Taiwan, India, dll, mereka bisa maju tanpa meninggalkan identitas aslinya. Malaysia sendiri (walaupun sy kurang suka semua yg berbau 'Malaysia'), masyarakatnya sudah terbiasa mencampur bahasa Melayu dan Inggris, tetapi identitas dan kecintaan mereka thd Melayu itu kelihatannya tidak kurang. Kita bisa lihat dlm film Upin Ipin yg barangkali kita pasti geli mendengar logat dan omongannya. Justru yg kurang menurut saya adalah kurangnya identitas diri yg kuat ini dalam masyarakat kita, sehingga org yg berciscascus dalam bahasa asing dianggap sbg kebarat2an. Sy pikir ada penjelasan psikologi sendiri tentang ini.
Praksisnya, sy pikir ini ada hubungannya dengan stigma-stigma yg saling diberikan oleh antar suku-suku di negara kita, dan kuatnya stigma ini melekat sehingga kita selalu merasa inferior dan tidak layak untuk lebih maju. Sy yakin Andina mengerti stigma2 yg sy maksud.
Sehingga pertanyaan sy adalah, menurutmu perlu gak penguasaan bahasa asing (Inggris terutama) buat masyarakat kita? Kalau perlu, balik lagi ke pertanyaan awal td, bagaimana kiranya cara belajar atau mengadaptasi bahasa Inggris yang tidak akan dihakimi sebagai kebarat2an atau divonis "melihat apa pun yang datang dari Barat sebagai sesuatu yang lebih ‘tinggi’ derajatnya"?
Anon1
@Anon1: Ini memang kondisi dilematis. Jika menutup diri dari bahasa Inggris, yang notebene bahasa internasional, pasti akan jadi bangsa udik dan terkucil. Tapi yang terjadi sekarang, menurut pendapat saya, orang meninggikan bahasa Inggris sedemikian rupa sehingga posisi bahasa nasionalnya sendiri jadi inferior.
ReplyDeleteKebetulan saya tinggal di Jakarta. Di kota ini, banyak sekali orangtua yang membiasakan anaknya berbahasa Inggris sedari kecil tanpa diimbangi pelajaran bahasa Indonesia. Kawan saya punya keponakan perempuan berusia 5 tahun yang lancar menjawab jika ditanya dalam bahasa Inggris, tetapi diam seribu bahasa sambil melirik mamanya jika diberi pertanyaan dalam bahasa Indonesia. Lalu si mama akan menjelaskan, barulah dia menjawab, itu pun dalam bahasa Inggris pula.
Di pusat-pusat perbelanjaan, puluhan kali saya menyaksikan para orangtua bicara pada anaknya dalam bahasa Inggris. "Don't run!" atau "Please give it to Mommy!" Padahal baik anak maupun orangtuanya sama-sama berkulit coklat dan berambut hitam..
Saya rasa jalan keluarnya adalah mempelajari baik bahasa nasional maupun bahasa Inggris dengan baik, dan mempergunakannya secara proporsional. Perhatikan audiens yang sedang kita ajak bicara, sesuaikan bahasanya. Tidak mungkin bicara bahasa nasional dengan tamu asing yang baru datang dari Siberia, tetapi jika hanya sedang berkumpul dengan kawan-kawan sendiri, apakah harus menyelipkan kosakata bahasa Inggris dalam percakapan?
(Menyelipkan dalam hal ini maksud saya bahasa Inggris setengah-setengah. Jadi belang-belang. Inggris bukan, Indonesia juga bukan..)
Bagaimana dengan English Day? Saya tidak menentangnya sebab setidaknya di English Day semua orang bicara bahasa Inggris dengan baik. Tapi supaya adil, seharusnya sisa yang bukan English Day itu kita anggap Hari Bahasa Indonesia agar kita semakin baik sebagai bangsa.
Saya nantikan komentar selanjutnya.
@Anon2: Ini analisis menarik, yang saya kira berujungpangkal pada predikat bahasa Inggris sebagai bahasa internasional. Industri/bisnis kan berlandaskan hukum kapitalisme, yakni dengan modal sekecil mungkin menghasilkan laba sebesar mungkin. Nah, laba besar salah satunya bisa dicapai dengan jangkauan konsumen yang luas. Jika keluasan ini berarti ekspansi ke luar negeri, mau tak mau bahasa Inggris menjadi syarat tak terhindarkan, mutlak harus dimiliki. Saya tidak anti bahasa ini, hanya penggunaannya harus proporsional. Utk lebih jelasnya mungkin bisa lihat komentar saya utk komentar Anon1 di atas. Terima kasih :)
ReplyDeleteAndin, sy setuju dengan yg kamu jelaskan. Dan sy berusaha garis-bawahi mengapa fenomena ini (org gandrungnya berbahasa asing atau kalau kita mencoba berbahasa Inggris sesama teman pun tak jarang divonis kebarat2an) karena rendahnya penghargaan kita akan milik kita sendiri. Di bawah sadar kita sudah tertanam nilai-nilai merah utk segala sesuatu yg berasal dari Indonesia. Kita mau berbicara apa? Mobil nasional, pesawat nasional, elektronik buatan dalam negeri? Rasanya tidak meninggalkan kebanggaan buat kita. Sehingga dengan mengejar/mengikuti yg luar, orang merasa tidak melulu bagian dari yg merah ini.
ReplyDeleteTapi mengkritik orang yg berusaha memperdalam bahasa asing spt itu juga tidak tepat. Ibaratnya spt memburu tikus dengan membakar lumbungnya. Kritikan itu akan melemahkan dan mematikan semangat orang untuk belajar. Lihat sendiri daya serap pelajar2 kita di sekolah utk bahasa Inggris, sy yakin masih rendah. Yg diperlukan menurut saya adalah upaya untuk menumbuhkan kecintaan terhadap milik kita sendiri. Sehingga kita sebagai pribadi masyarakat bisa menampilkan diri dengan bangga sebagai Indonesia dengan segala hasil budaya aslinya dan juga bisa bangga dengan tambahan hasil budaya asing yg dipelajarinya.
Kasus spt ini sy alami persis ketika berkuliah di salah satu kampus di Yogyakarta sebagai seorang mahasiswa yg berasal bukan dari pulau Jawa. Dalam adat setempat, jika kita mencoba berbahasa Jawa dan ternyata belum bisa dan kita menggunakan kata yg salah (halus atau kasarnya), bisa dianggap tidak sopan. Dan terakhirnya akan diisyarakan untuk berbahasa Indonesia saja. Kalau begitu caranya, kapan akan belajar? Sementara kamu sendiri pasti bisa mengerti orang akan cepat belajar suatu bahasa dengan semakin sering menggunakan. Kasusnya kelihatannya berbeda tp sebenarnya sama. Kritik itu melemahkan/mematikan semangat orang utk belajar.
Cuman kalau Andin bertanya bagaimana caranya menumbuhkan kecintaan thd budaya Indonesia, sy gak mampu jawab. :D
Anon1
@Anon1: Hahaha, pertanyaan terakhir itu memang semacam "ultimate question" yang jawabannya bisa buanyak, atau bisa nggak ada sama sekali! :)) Tapi saya masih tetap keukeuh berpendapat salah satu cara meningkatkan kebanggaan jadi WNI adalah dengan mencintai bahasanya, yakni menggunakannya dengan benar dan proporsional (verbal maupun lisan) sebab saya masih (dan akan selalu) percaya bangsa yang besar adalah bangsa yang mencintai bahasanya :)
ReplyDelete"Cuman kalau Andin bertanya bagaimana caranya menumbuhkan kecintaan thd budaya Indonesia, sy gak mampu jawab. :D"
ReplyDeleteini pertanyaan yg mudah sekaligus sulit dijawab...
mudah, krena kita org Indonesia dan otomatis tinggal, dan hidup dengan cara2 org Indonesia, jadi secara tidak langsung mau menyesuaikan diri dengan budaya tempat hidup...
tapi begini: ketika ada masalah dengan batik yang diklaim Malaysia, orang Indonesia scra frontal mengakui bahwa batik adalah kepunyaannya... ini salah satu nasionalisme yang primitif, kalau dalam term Nietzche dlam menanggapi keadaan "modern" pada saat itu yg dikata hanya ikut2an, krena kita tidak tahu, sebenarnya kita telah lama melupakan batik, hidup berbatik itu apa sbnenarnya? makanya dalam batik ada kengawuran, yaitu masuknya bahasa asing dlam batik... dan tiba2 euforia batik kembali timbul krena emosi yg meledak2, krena mneganggap batik adalah bagian dari diri kita?
knp disebut primitif? krena sbenarnya euforia thd batik bukan timbul dari kehidupan kita yg menrus, melainkan lewat mitos2, dan dengar2, batik adalah kepunyaan org Indonesia... (balik lagi ke term Nietzche) itulah keprimitifan org kita, Indonesia...
jadi scra tidak langsung sbnrnya kita bukan hidup di Indonesia, melainkan di tempat lain, yakni kehidupan kta sendiri...
berbeda dengan orang Jepang...
kita lihat, budaya populer Jepang begitu "in" di Indonesia... kenapa? krena budaya Jepang memang menyenangkan bagi sebagian besar pemuda kita... kalau kita merujuk ke keadaan Jepang sana, wajar kebudayaan populer itu berkembang, krena memang hidup di Jepang menuntut mreka untuk seperti itu...
kalau di Indonesia, entah kenapa kita semacam kehilangan identitas, krena mungkin kita lupa, atau tak mau membangun identitas tsb, kta hidup di Indonesia, tapi tidak scra Indonesia... Itu masalahnya... makanya saya sangat setuju dgn doktrin Soekarno yang berdikari dalm sgala hal, tmsuk budaya, bukan hanya masalah politik yang skrg sdang gencarnya, demokrasi... makanya butuh revolusi total di negara ini, kalau emang mau benar2 hidup berbangsa dan bernegara Indonesia...
sulit, jika kita lihat di Indonesia ini kita hidup masing2 dalam alam pikiran yg berbeda, seakan2 kita peduli, padahal acuh tak acuh dengan sistem hidup yang ada...
jadi jwabannya, hidup dgn cra org Indonesia, tapi sayang cara hidup itu tidak ada, sebab kita tlah jauh meninggalkan identitas kita sebagai sebuah bangsa dan negara...
mungkin itu jwaban saya untuk Anon1...
@Anon2: Ngomong-ngomong tentang identitas bangsa, saya jadi ingat tulisan Linda Christanty tentang orang-orang Jepang. Linda bilang, Jepang sangat istimewa sebagai sebuah bangsa karena betapa pun mereka sangat terbuka pada budaya Barat (ini kalau kita mau mengidentikkan modernitas dengan Barat), orang-orang Jepang tetap memegang teguh identitas mereka sebagai bangsa yang bertradisi. Nah, jika hal ini mau diterapkan di negara kita, yang ada hanya pusing belaka sebab yang disebut dengan "Indonesia" itu seperti apa? Adakah tradisi tunggal yang bisa kita pegang bersama, yang dimiliki bersama oleh setiap suku bangsa di Indonesia? Hadapilah, kita terlalu beragam untuk punya identitas tunggal, termasuk batik yang menurut saya terlalu ke-Jawa-Jawa-an. Satu-satunya hal yang bisa dipelihara adalah bahasa nasional. Dari tiga poin sumpah pemuda, yang "tangible" itu hanya poin tentang bahasa, sedangkan sisanya konsep. Selama kita masih bisa belajar menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan proporsional, maka masih ada sebuah identitas berbangsa dan bernegara yang masih bisa kita pegang bersama. IMHO :)
ReplyDeleteAndin,
ReplyDeletesatu bahasa ini tidak sanggup utk memberikan alasan/fondasi bagi masyarakat indonesia merasa bangga sebagai indonesia. Berbahasa Indonesia sendiri bagi kita sering menjadi konflik. Bahasa Indonesia yg aslinya Melayu tp logat Melayu sendiri bagi telinga manusia di Pulau Jawa (yg notabenenya berjumlah penduduk terbanyak) itu aneh atau kalau bisa bilang serasa tidak pantas.
Banyak orang di Pulau Jawa ini yg sama sekali tidak bangga bahkan tidak suka mendengar bahasa Indonesia logat Melayu yg banyak terdengar dalam logat penduduk di Sumatera atau Jawa. Belum lagi logat dari penduduk yg dari bagian timur.
Maka tak heran banyak orang daerah yg merasa bangga mengatakan tidak lagi bisa berbahasa daerahnya atau berusaha menyembunyikan logat daerahnya, krn seakan manusia Indonesia itu dituntut berbahasa Indonesia dalam selera bahasa Indonesia manusia di Pulau Jawa.
Berbahasa sendiri, kalau kita mau jujur, sdh merupakan sumber konflik.
Sory Andin, posting barusan dari Anon1. Tolong ditambahkan :D
ReplyDeleteRalat:
ReplyDeletePosting gw sebelumnya tertulis "yg banyak terdengar dalam logat penduduk di Sumatera atau Jawa."
Mustinya "yg banyak terdengar dalam logat penduduk di Sumatera atau Kalimantan.
Anon1
@Anon1: (tuh, udah dipertegas eksistensinya, hehe)
ReplyDeleteKetika saya bicara bahasa nasional sebagai instrumen yang paling mungkin dimiliki bersama, saya bersungguh-sungguh dengan itu. Bahasa nasional memungkinkan orang-orang dengan kultur beragam (yang artinya, potensi disintegrasi besar) untuk mempunyai sebuah identitas komunal sederhana, "dari suku mana pun engkau, aku bisa bicara padamu dalam bahasa nasional sebab kita warga sebuah negara yang sama."
Mengenai logat, saya kira akan sangat memusingkan jika kita pikirkan sebagai sebuah masalah besar. Bahasa Indonesia boleh berakar dari Melayu, hanya yang penting ia berguna untuk alat komunikasi warganya. Ia bahkan boleh berakar dari Mali atau Siberia atau Timbuktu sekali pun, dan tetap yang penting berguna sebagai alat komunikasi kita.
Mengenai orang di Jawa tak suka mendengar bahasa Indonesia berlogat Sumatra atau Kalimantan, itu perlu kita bicarakan dalam konteks yang lebih luas lagi. Faktanya, Jawa memang sudah begitu dominan dalam wacana budaya bangsa (mungkin sejak era Soeharto?) sampai pernah ada seorang Indonesianis bilang begini, ".. it seems that the only way of being Indonesian is to be a Moslem Javanese..."
Nah, perkara logat itu saya kira ada hubungannya juga dengan superioritas ini. Orang Jawa memandang mereka yang non-Jawa sebagai inferior, dan efeknya, para non-Jawa memandang orang-orang Jawa dengan aneka stereotip pula.
Emmanuel Subangun pernah membahas soal bahasa daerah dan bahasa nasional di bukunya, Syuga Derrida. Menurut Emmanuel, persatuan di Indonesia sulit terwujud karena masing-masing orang punya dua bahasa di kepalanya, bahasa daerah dan bahasa nasional. Ketika menerima informasi, ia akan memprosesnya dalam bahasa daerah, dan mengeluarkannya dalam bahasa nasional akan memerlukan proses menerjemahkan lagi.
Saya bilang sih Emmanuel salah. Usaha menerjemahkan pikiran dalam bahasa nasional jika dilakukan secara terus-menerus akan menjadi sebuah kebiasaan. Dan kita tidak perlu pusing bahasa Indonesia yang kita dengar atau ucapkan berlogat apa :)
Membaca pandangamu tentang bahasa ini, sy jadi sangat mendengar pendapatmu ttg beliau ini. http://goo.gl/RXOmY
ReplyDeleteAnon1
@Anon1: saya mau pingsan membacanya!
ReplyDeleteHahahaaa.... LOL...
ReplyDeleteHappy new year to you, dear Andin. (nah lho... linggis lagi)
Anon1
@Anon1: Selamat tahun baru bagi yang merayakan :)
ReplyDelete