Saya selalu suka film Gone With The Wind (1939). Meskipun ini film jadul (masih ada interlude yang bikin ngantuk) dan durasinya panjang (tiga jam empat puluh menitan), saya selalu suka menyaksikannya berkali-kali. Kadang DVD Gone saya puter cuma buat ngeliat adegan-adegan yang saya suka, misalnya waktu Rhett Butler (Clark Gable) pergi dari rumah ninggalin Scarlett O'Hara (Viviene Leigh). Di situ Scarlett memohon-mohon biar Rhett mau tinggal karena dia nggak tahu harus ngapain dan harus ke mana kalau Rhett nggak ada, tapi Rhett hanya bilang, "Frankly, my dear, I don't give a damn."
Konon di novel asli yang ditulis Margaret Mitchell (1936), Rhett ngomongnya nggak pakai kata 'frankly'. Adegan ini juga nggak terjadi di depan pintu, melainkan di kamar pribadi mereka. Tapi adegan versi film lebih dramatis, ironis, dan bikin meringis. Apalagi tampang Rhett pas bilang kalimat legendaris itu disetel se-eneg mungkin. Seolah-olah dia udah muak banget sama Scarlett. Seolah-olah mau Scarlett nyebur sumur pun dia nggak peduli lagi. Ekspresi Clark Gable di situ sungguh sadis. Dan kayaknya berkat ekspresi bengis itulah kalimat Rhett jadi terkenal. Saya jadi inget di film The Mask (yang notabene dibikin berpuluh-puluh tahun kemudian), Jim Carrey bilang gini, "Tell Scarlett, I do give a damn." Hehehe..
Anyway, Gone adalah salah satu film paling sukses sepanjang sejarah; menangin 8 piala Oscar dari 13 nominasi. Film ini mengambil latar kisah Perang Saudara Amerika Serikat dan Era Rekonstruksi dari sudut pandang orang-orang Selatan. Scarlett yang dikisahkan mewarisi Tara, peternakan kapas milik keluarga, juga jadi salah satu simbol bagaimana orang bertahan dari akibat yang ditimbulkan perang, memperjuangkan eksistensinya, dan tidak menyerah pada hidup. Ya, film ini mau ngomong banyak, tapi jadi seru karena dikemas dengan kisah cinta Scarlett yang bisa bikin migren saking menggemaskannya.
Jadi si Scarlett ini tipe gadis yang hobinya flirting. Jenis cewek yang kalo dateng ke sebuah pesta selalu dikerubutin cowok-cowok, duduk manis di tengah kumbang-kumbang yang menatap dengan pandangan penuh pemujaan, dikipasin, dan tiap kali haus tinggal melambai minta ambilin minum. Cowok-cowok rela lah jadi jongos buat dia.
Meski banyak penggemar, cinta Scarlett udah terlanjur tertambat pada Ashley Wilkes, pria berponi lempar dan berwajah sendu kayak orang kurang darah. Makanya waktu Ashley ternyata lebih milih nikahin sepupunya sendiri, Melanie Hamilton, Scarlett frustrasi berat.
Berbagai cara dilakukan Scarlett, termasuk menikahi adik kandung Melanie, Charles. Si Charles ini nantinya mati di medan perang, tapi Scarlett sama sekali nggak sedih. Yang dia pikirin cuma Ashley, dan dia lega banget Ashley nggak kenapa-napa, selamat sehat wal afiat. Sungguh istri durhaka. Scarlett juga sempat nikahin Frank, cowok yang dia sambar dari adik kandungnya sendiri. Sekali lagi bukan karena cinta, tapi karena butuh uang buat pertahanin Tara. Frank juga mati, dan sekali lagi Scarlett, meminjam kata-kata Rhett, "don't give a damn". Lalu dia jatuh ke pelukan Rhett Butler, cowok kaya yang skeptis sama perang, yang sebenarnya udah merhatiin si-gadis-berdarah-panas ini sejak awal. Tapi, meski sudah berganti suami tiga kali, cinta Scarlett cuma buat Ashley.
Karakter Scarlett inilah yang barangkali bikin saya jatuh cinta sama film Gone. Berlawanan dengan stereotip gadis pada umumnya (apalagi tahun segitu), Scarlett nggak takut bilang cinta, nggak takut memperjuangkan keinginannya, nggak bersikap sok malu-malu kucing, jinak-jinak merpati, pura-pura cuek padahal butuh. Refreshing! Dia selalu mengungkapkan rasa cintanya pada Ashley dengan sportif, meski Ashley selalu bilang nggak bisa membalasnya.
Tapi Scarlett gagal menyadari bahwa yang ia cintai bukanlah Ashley sebagai Ashley, tetapi sesuatu-yang-dikiranya-Ashley. Jadi semacam konsep tentang Ashley. Bayangan yang indah-indah, Ashley begini, Ashley begitu, yang membuatnya makin cinta dan nggak bisa lepas.
Sebenarnya ini nggak salah. Menurut saya, nggak ada orang di dunia ini yang bisa mencintai seseorang pada-dirinya-sendiri, alias mencintai seseorang secara an sich. Yang kita punya hanyalah cermin, yang menghasilkan bayangan tentang orang lain. Jadi ketika kita mencintai seseorang, sesungguhnya yang kita cintai adalah pikiran-kita-tentang-seseorang-yang-kita-cintai itu.
Permasalahannya, kadang kita nggak mau melihat dan mengakui hal ini sebab kita ingin punya keajaiban.
Kita ingin ada sesuatu yang magis, yang tulus, yang nggak taken-for-granted di dunia yang sama sekali nggak magis, nggak tulus, dan penuh kepentingan ini. Mungkin seperti orang Arab yang selalu ngebayangin ada tempat adem, dengan sungai yang dingin, dan rindang pepohonan, di tengah realita yang isinya pasir melulu. Makanya perumpaan di kitab suci selalu ngomong soal ini.
Film ini juga membuat saya berpikir tentang transisi dari 'gadis kecil' menuju 'perempuan dewasa', yang mungkin dialami seorang perempuan satu kali dalam hidupnya.
Gadis kecil melakukan apa pun demi kesenangannya sendiri, sedangkan perempuan dewasa sudah bisa mempertimbangkan kepentingan orang lain, bahkan jika untuk itu ia harus sedikit mengalahkan kesenangannya. Gadis kecil bisa jatuh cinta sampai berdarah-darah dan mencintai seseorang lebih dari cintanya pada diri sendiri, sedangkan perempuan dewasa tahu secinta-cintanya dia pada orang lain, dia perlu lebih mencintai dirinya sendiri. Gadis kecil kerap terjebak inkonsistensi antara konsep dan tindakan, sedangkan perempuan dewasa paham kapan waktunya pakai logika dan kapan saatnya pakai perasaan.
Begitu.
Nah, saya tutup tulisan ini dengan ucapan Scarlett waktu Rhett pergi ninggalin dia. Saya suka kalimat ini karena nunjukin semangat Scarlett untuk belajar dari kesalahan dan bersiap mengejar cintanya lagi. Kata dia,
"After all, tomorrow is another day."
Great Dear, semoga film saya itu bisa menguatkanmu utk tidak menjadi gadis kecil terus.
ReplyDeleteDari Rhett.
Anon1
@anon1: Thanks, Rhett :D
ReplyDelete"Sebenarnya ini nggak salah. Menurut saya, nggak ada orang di dunia ini yang bisa mencintai seseorang pada-dirinya-sendiri, alias mencintai seseorang secara an sich. Yang kita punya hanyalah cermin, yang menghasilkan bayangan tentang orang lain. Jadi ketika kita mencintai seseorang, sesungguhnya yang kita cintai adalah pikiran-kita-tentang-seseorang-yang-kita-cintai itu."
ReplyDeletemenarik bgt, serius...
tapi ada benarnya... juga ada salahnya...
benar, karena saat pertama kita menyukai seseorang pasti ada semacam kesan yang timbul dalam diri kita atas apa yg kita lihat tersebut... misal cantik, baik, dsb
tapi, ketika itu berjalan, mau gak mau kita bakal kenal orang itu secara an sich, dalam-dirinya-sendiri... dan ketika itu terjadi, itu yang namanya cinta sejati... tulisan yang keren...
@Anon 2: Dalam perbincangan filsafati, saya tetap berpendapat mengenali orang secara an sich itu tidak mungkin sebab konsep an sich alias pada-dirinya-sendiri berarti manusia punya hakikat. Dalam hal ini saya setuju dengan para anti-esensialis. Tapi senang kalau kamu suka tulisan ini, semoga bermanfaat ya :)
ReplyDeleteanti essensialis ada benarnya, krena mennganggap sesuatu itu berubah2 tergantung kondisi yg ada, maksudnya di sini tempat tinggal atau tempat hidup tertentu...
ReplyDeletetapi sangat disayangkan, anti essensialisme tidak melihat kenapa sesuatu itu bisa berubah2, dan perubahan apa yg sbenarnya terjadi pada diri masy. atau subjek tertentu...
saya percaya predestinasi, saya percaya takdir, seperti Heidegger, tapi saya juga percaya free will seperti Sartre...
sama seperti essensialisme, essensi, atau adaan dalam diri setiap masy dan individu pasti ada, skali lagi, tergantung cara hidup manusia atw masy tsb, biologis, maupun sosiologis...
ambil contoh seorang petani tak mungkin bisa menjadi seorang industrialis scra tiba2, maksudnya pasti sgala sesuatu bisa brubah, tapi dalam perubahan itu btuh waktu dan proses tertentu... dan juga sikap hidup petani sangat jauh berbeda dgn industrialis... kalau petani mengolah alam, industrialis berkutat dgn manusia dan mesin2 dan itu btuh skill dan tekhnik yg berbeda pula... maka dari itu ada essensi dalam diri manusia, scara sosiologis, atau biologis... kalau essensi tidak ada, orang Indian atau orang Negro bisa hidup secara western, ternyata bukti empiris menyatakan bahwa mereka tidak bisa, atau evolusionisme, Darwin, juga secara tidak langsung menyatakan bahwa ada essensi... setiap makhluk hidup berusaha menyesuaikan diri untuk hidup, tapi sayang pandangan Darwin sangat subjektif, ia melihat segala sesuatu sesuai perspektif manusianya... penjabaran bisa lebh luas di sini...
saya blum tahu essensi Andina seperti apa, tapi kalau saya kenal lebh dekat, pasti saya paham essensi Andina sbgai individu an sich...
kalau essensi tidak ada, maka tidak ada juga cinta sejati, dan kalau cinta sejati tidak ada maka tidak ada keuniversalan, dan lurus dari itu, tidak ada Tuhan yang universal... para idealisme mgutuk metafisika seperti itu, tidak ada sesuatu yg universal, dalam segi pembahasaan apapun...
dalam hal ini saya berpihak pada idealis yang mengatakan bahwa yang universal itu tetap ada... yang essensial itu ada... kalau tidak ada berarti tidak ada Tuhan, juga tidak ada moral, dan itu, essensi, adalah salah satu syarat adanya Tuhan...
skali lagi, yang essensi itu ada... krena kalau saya baca sdikit, essensialisme itu kalau tidak salah adalah analisis thd budaya... budaya tidak sma dengan manusia, individu tidak sama dgn kolektivitas... saya melihat dalam keindividuan, bukan kolektivtas...
secara kolektif manusia bisa dirubah sedemkian rupa, melalui sistem hidup, tapi scra individu, manusia memang dikutuk Tuhan menurut rupanya, atau dalam kata lain menurut keinginannya...
@Anon2: analogi tentang petani dan industri itu mungkin lebih tepat dipandang dari konsep materialisme dialektis-nya Karl Marx yang bilang bukanlah kesadaran manusia yang menentukan eksistensinya, melainkan eksistensinya yang menentukan kesadarannya. jadi kalau anda bilang orang Indian nggak bisa hidup secara "western" (maksudnya kebarat-baratan, kan? :D) ya itu karena kesadaran mereka dibentuk oleh eksistensinya.
ReplyDeleteLalu ada dua hal yang saya nggak ngerti dari komentar anda, yaitu pertama, benarkah Heidegger percaya takdir? Dalam buku/pemikirannya yang mana yang mengindikasikan hal itu, ya? Kedua, tentang perkataan anda yang bilang jika tak ada esensi maka tak ada cinta sejati maka tak ada universalitas maka tak ada tuhan, dst.. hubungan antara esensi dan cinta sejati itu bagaimana persisnya ya? Konsep "kesejatian" itu menurut saya absurd sebab semua hal terkonstruksi belaka, atau dalam bahasa Foucault tak ada yang eksis di luar wacana. IMHO :)