oleh: Simon Carmiggelt*
Cucu saya yang bungsu yang baru berumur empat tahun, akan menginap semalam di rumah kami, karena orang tuanya akan pergi ke pesta. Kami menantikan hari itu dengan penuh gairah, karena ia belum pernah menginap di rumah kami sendiri. Maka sebelumnya segala sesuatu sudah diatur dengan rapi per telepon dengan ayahnya. Katanya: "Supaya opa dan Oma sudah berada di sekolahnya jam empat kurang seperempat. Saya pun akan datang dengan segala tetek-bengeknya: baju tidurnya, sikat gigi, buku gambarnya dan lain-lain. Lalu bawa saja dia tenang-tenang."
Kami sudah berdiri di depan sekolah lebih cepat lagi. Atas desakan saya, maka kami berpakaian biasa saja, tidak menyolok. Karena saya punya pengalaman pahit dari masa kanak-kanakku tentang topi-topi yang ibuku pakai kalau dia menjemput saya dari sekolah. Sekali seminggu saya menceritakan trauma ini kepada psikiater, sambil bergolek di atas dipannya, sedang ia tidak berkata apa-apa. Tapi rekeningnya harus aku bayar sendiri, tidak dibebankan pada Askes. Ayahnya cucuku muncul beberapa detik sebelum sekolah usai, dengan membawa tas plastik yang berisi pakaian tidur. Beberapa anak bandel lari-lari ke luar, sambil mendorong dan saling memukul. Tiba-tiba berdiri sang cucu di depan kami.
"Nah, ini Opa dan Oma datang," seru saya.
Ia melihat kami. Pada wajahnya tampak keraguan anak kecil yang dengan otaknya menyadari bahwa dia akan mengalami sesuatu yang menyenangkan, tapi dalam lubuk hatinya ia belum yakin betul. Ayahnya menjongkok sampai setinggi sang anak, membelai-belainya dan berkata: "Kamu boleh menginap di rumah Opa. Senang 'kan?"
Setelah mengatakan itu, kembali ia berdiri. Cucu kami melihat ke arah kami. Dirasakannya bahwa rencana manis itu akan berubah menjadi kenyataan. Ia ibarat seseorang yang mau mengelilingi dunia yang sudah lama menjadi idamannya, tapi kini tertegun melakukan langkah pertamanya. Ia memeluk kaki ayahnya, meletakkan kepalanya yang berambut keriting pada lutut ayahnya, dan dengan suara sedih dia berkata: "Saya mau pulang!"
"Lekas-lekas permen karet!" kataku kepada isteriku. Tapi karena dia selalu membeli tas yang tampaknya dari luar cakep, tapi hanya bisa dibuka dengan kunci Inggris, dan hanya bisa ditutup lagi dengan semen adonan, maka munculnya permen karet dari dalam tasnya memakan waktu yang cukup lama.
"Kamu dapat permen karet," aku mengumumkan. Si anak tetap menangis sedih.
"Ini bisa lama," kata ayahnya. "Opa dan Oma pulang saja dulu. Saya jalan-jalan dulu dengannya, membujuknya dan nanti saya antarkan dia."
Maka pulanglah kami, tanpa berkata apa-apa.
Melihat air muka isteri saya yang murung, saya menghibur: "Pada Omanya yang lain ia kadang-kadang tak mau."
"Tapi baru-baru ini ia menginap di sana," jawabnya.
"Ya, tapi ia tak mau menjawab pertanyaan-pertanyaan orang, sehingga mereka kuatir, mungkin ia tuli. Hanya ketika ditawarkan: "Mau kue?" ternyata pendengarannya normal saja."
Setelah agak lama kami duduk di ruang tamu, berbunyi bel. Kami bergegas-gegas menuju pintu, sudah siap untuk menunjukkan betapa riang-gembiranya kami, tapi ketika kami buka pintu, yang berdiri di depan pintu adalah seorang lelaki yang hendak menjual buku-buku terjemahan dari Amerika, yang memberi jawab atas semua pertanyaan tentang hidup dan mati.
Orangnya putih bersih, cuma kalau ia bicara dan bicaranya selalu cepat maka di sudut-sudut mulutnya akan terkumpul busa, dan busa itu tetap menghiasi sudut mulutnya, tidak mau turun ke dagunya.
Dengan takjub saya melihat kumpulan buih itu, waktu dia berseru: "Bukankah kita sering bertanya pada diri sendiri: Untuk apa semua itu?"
"Betul," jawabku.
Kata itu menjawab semua pertanyaan, menutup semua lubang.
Persis pada saat itu membuka pintu lift dan muncullah cucu kami, bergandengan tangan dengan ayahnya. Tampak pada air mukanya, bahwa ia telah diyakinkan akan mengalami sesuatu yang menyenangkan. Tapi si penjaja buku yang tak disangka-sangka itu, dengan mulutnya penuh buih, dan bicaranya yang terus-menerus, rupanya mengubah suasana.
Seperti terdengar si anak berpikir: "Wah, tambah lagi dengan orang ini."
Mulai lagi cucuku merengek: "Mau pulang saja," sambil berpegang mencari perlindungan pada kaki ayahnya. Dan pulanglah mereka. Mengapa tidak? Anak umur empat tahun boleh juga bertanya sesekali: "Untuk apa?"
*Carmiggelt adalah seorang esais, kolumnis, dan sastrawan Belanda yang lahir di Den Haag pada tahun 1913 dan menerima hadiah P.C. Hooft, penghargaan susastra paling tinggi di Belanda, dalam usia 64 tahun. Tulisan ini diambil dari buku Humor Sekolom, Senyum Dikulum (Jakarta: Djambatan, 1982). Terjemahan oleh Hazil Tanzil, dengan perubahan seperlunya.
Cucu saya yang bungsu yang baru berumur empat tahun, akan menginap semalam di rumah kami, karena orang tuanya akan pergi ke pesta. Kami menantikan hari itu dengan penuh gairah, karena ia belum pernah menginap di rumah kami sendiri. Maka sebelumnya segala sesuatu sudah diatur dengan rapi per telepon dengan ayahnya. Katanya: "Supaya opa dan Oma sudah berada di sekolahnya jam empat kurang seperempat. Saya pun akan datang dengan segala tetek-bengeknya: baju tidurnya, sikat gigi, buku gambarnya dan lain-lain. Lalu bawa saja dia tenang-tenang."
Kami sudah berdiri di depan sekolah lebih cepat lagi. Atas desakan saya, maka kami berpakaian biasa saja, tidak menyolok. Karena saya punya pengalaman pahit dari masa kanak-kanakku tentang topi-topi yang ibuku pakai kalau dia menjemput saya dari sekolah. Sekali seminggu saya menceritakan trauma ini kepada psikiater, sambil bergolek di atas dipannya, sedang ia tidak berkata apa-apa. Tapi rekeningnya harus aku bayar sendiri, tidak dibebankan pada Askes. Ayahnya cucuku muncul beberapa detik sebelum sekolah usai, dengan membawa tas plastik yang berisi pakaian tidur. Beberapa anak bandel lari-lari ke luar, sambil mendorong dan saling memukul. Tiba-tiba berdiri sang cucu di depan kami.
"Nah, ini Opa dan Oma datang," seru saya.
Ia melihat kami. Pada wajahnya tampak keraguan anak kecil yang dengan otaknya menyadari bahwa dia akan mengalami sesuatu yang menyenangkan, tapi dalam lubuk hatinya ia belum yakin betul. Ayahnya menjongkok sampai setinggi sang anak, membelai-belainya dan berkata: "Kamu boleh menginap di rumah Opa. Senang 'kan?"
Setelah mengatakan itu, kembali ia berdiri. Cucu kami melihat ke arah kami. Dirasakannya bahwa rencana manis itu akan berubah menjadi kenyataan. Ia ibarat seseorang yang mau mengelilingi dunia yang sudah lama menjadi idamannya, tapi kini tertegun melakukan langkah pertamanya. Ia memeluk kaki ayahnya, meletakkan kepalanya yang berambut keriting pada lutut ayahnya, dan dengan suara sedih dia berkata: "Saya mau pulang!"
"Lekas-lekas permen karet!" kataku kepada isteriku. Tapi karena dia selalu membeli tas yang tampaknya dari luar cakep, tapi hanya bisa dibuka dengan kunci Inggris, dan hanya bisa ditutup lagi dengan semen adonan, maka munculnya permen karet dari dalam tasnya memakan waktu yang cukup lama.
"Kamu dapat permen karet," aku mengumumkan. Si anak tetap menangis sedih.
"Ini bisa lama," kata ayahnya. "Opa dan Oma pulang saja dulu. Saya jalan-jalan dulu dengannya, membujuknya dan nanti saya antarkan dia."
Maka pulanglah kami, tanpa berkata apa-apa.
Melihat air muka isteri saya yang murung, saya menghibur: "Pada Omanya yang lain ia kadang-kadang tak mau."
"Tapi baru-baru ini ia menginap di sana," jawabnya.
"Ya, tapi ia tak mau menjawab pertanyaan-pertanyaan orang, sehingga mereka kuatir, mungkin ia tuli. Hanya ketika ditawarkan: "Mau kue?" ternyata pendengarannya normal saja."
Setelah agak lama kami duduk di ruang tamu, berbunyi bel. Kami bergegas-gegas menuju pintu, sudah siap untuk menunjukkan betapa riang-gembiranya kami, tapi ketika kami buka pintu, yang berdiri di depan pintu adalah seorang lelaki yang hendak menjual buku-buku terjemahan dari Amerika, yang memberi jawab atas semua pertanyaan tentang hidup dan mati.
Orangnya putih bersih, cuma kalau ia bicara dan bicaranya selalu cepat maka di sudut-sudut mulutnya akan terkumpul busa, dan busa itu tetap menghiasi sudut mulutnya, tidak mau turun ke dagunya.
Dengan takjub saya melihat kumpulan buih itu, waktu dia berseru: "Bukankah kita sering bertanya pada diri sendiri: Untuk apa semua itu?"
"Betul," jawabku.
Kata itu menjawab semua pertanyaan, menutup semua lubang.
Persis pada saat itu membuka pintu lift dan muncullah cucu kami, bergandengan tangan dengan ayahnya. Tampak pada air mukanya, bahwa ia telah diyakinkan akan mengalami sesuatu yang menyenangkan. Tapi si penjaja buku yang tak disangka-sangka itu, dengan mulutnya penuh buih, dan bicaranya yang terus-menerus, rupanya mengubah suasana.
Seperti terdengar si anak berpikir: "Wah, tambah lagi dengan orang ini."
Mulai lagi cucuku merengek: "Mau pulang saja," sambil berpegang mencari perlindungan pada kaki ayahnya. Dan pulanglah mereka. Mengapa tidak? Anak umur empat tahun boleh juga bertanya sesekali: "Untuk apa?"
*Carmiggelt adalah seorang esais, kolumnis, dan sastrawan Belanda yang lahir di Den Haag pada tahun 1913 dan menerima hadiah P.C. Hooft, penghargaan susastra paling tinggi di Belanda, dalam usia 64 tahun. Tulisan ini diambil dari buku Humor Sekolom, Senyum Dikulum (Jakarta: Djambatan, 1982). Terjemahan oleh Hazil Tanzil, dengan perubahan seperlunya.
thanks atas tulisannya andina... :)
ReplyDeleteSama-sama, semoga bermanfaat.
ReplyDelete