Buka-buka komputer dan nemu catatan yang saya tulis pada bulan Ramadhan, empat tahun lalu. Ternyata memang benar: diri kita di masa lalu sering kali mengejutkan. Saya tidak pernah menyangka dulu pencarian saya tentang Tuhan benar-benar ciyus. Saya bahkan membuat beberapa refleksi tentang hal itu (juga makna puasa) lewat puisi. Dulu saya anak tersesat yang setengah mati merindukan Tuhan-nya.
Bukan Tuhan yang ini, ya.
Saya kutipkan beberapa di antaranya:
23 Agustus 2009 – kamar kos di gisik sari,
ramadhan
hari kedua
Mengapa
urusan keimanan ini menjadi begitu rumit, ya?
Pada
awalnya aku seperti mereka semua. Aku menganggap Allah adalah tempat meminta.
Aku memandang Allah sebagai figur yang memiliki otoritas untuk mengatur
hidupku. Lengkap dengan hakNya untuk meminta apapun dariku. Adalah hakNya untuk
memintaku mendeklarasikan keimananku, beribadah 5x dalam sehari, membayar
zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, dan naik haji jika mampu. Semua kulakukan
dengan tanpa banyak bertanya. Bahkan sempat tercetus dalam pikiranku, bahwa
yang namanya iman adalah percaya tanpa banyak tanya. Berimanlah dalam diam. Kata Nike, just do it.
Lalu
aku memasuki periode melelahkan itu. Semakin banyak yang kubaca dan kupelajari,
semakin besar keraguan yang kurasakan. Tidak ada lagi rasa khusyuk ketika
beribadah. Dulu aku sudah cukup puas dengan membaca Al-Quran, tetapi ketika aku
benar-benar “mengaji” (membaca dan mencari
makna) kitab suci itu, tiba-tiba dunia keimananku dilanda gempa. Apa yang dulu
tampak biasa, sekarang kupandang dengan curiga.
Apakah
harus dengan ibadah baru seseorang boleh dibilang beriman dan bertakwa?
Apakah
Allah hanya mengasihi hambaNya yang mewujudkan keimanan dan ketakwaannya dengan ibadah?
Apakah
tidak cukup beriman dan bertakwa dalam
heningnya hati?
Apakah
pantas memperlakukan Allah seperti pedagang? Memuja-mujanya, melabelinya dengan
segala Maha, baru kemudian meminta begitu banyak hal padaNya?
Apa
sih yang diinginkan Allah dengan menyuruh hambaNya melakukan begitu banyak
ibadah? Aku pernah menonton salah satu episode Para Pencari Tuhan di mana tokoh
Deddy Mizwar memberikan analogi menarik tentang ini. Dikisahkan ada kompetisi
karambol berhadiah uang. Hansip Udin bertanya, “Kalo kagak ade hadiahnye, nyang
ikut kompetisi bakal sebanyak ini kagak ye?” Tokoh Deddy Mizwar menjawab, “Yang
ikut hanya orang yang betul-betul suka sama karambol. Seperti ibadah. Allah
tahu betul hambaNya penuh kelemahan. Maka itu diberilah iming-iming surga,
pahala, dan lain-lainnya.”
Menurutku
itu analogi yang bagus. Tapi sekaligus mengukuhkan teoriku sejak awal. Ternyata
memang Allah sengaja memberikan iming-iming berupa semua hal yang bagus-bagus
itu supaya manusia beribadah padaNya. Tapi kenapa harus seperti itu? Apa
ruginya kalau Allah membiarkan saja apa adanya? Hitung-hitung seleksi alam mana
hamba yang benar-benar bisa berperilaku baik tanpa harus diiming-imingi surga.
Mungkin,
ini menurutku, jawabannya ada pada kontrol sosial. Mungkin ibadah memang
diperlukan untuk menjaga ketertiban sosial. Supaya manusia tidak berlaku chaos. Oke, jika memang itu benar,
biarkan menjadi seperti itu. Aku tidak ingin mengganggu cosmos yang diciptakan Allah untuk dunia ini.
Sekarang
aku harus egois sedikit. Bagaimana dengan diriku sendiri? Aku ingin seperti
Rabiah yang bisa beribadah tanpa ada iming-iming surga atau pahala. Rabiah
beribadah karena cinta pada Allah. Tapi Rabiah seorang sufi. Dia tidak
mengerjakan skripsi, tidak harus tes TOEFL, tidak harus indekos – ia tidak
menyentuh hal-hal duniawi. Rabiah sudah memilih jalan hidupnya untuk Allah dan
hanya Allah. Aku tidak seberani itu. Atau, katakanlah, aku tidak memilih hidup
seperti itu. Tapi aku ingin mencintai Allah seperti Rabiah mencintaiNya.
Bagaimana caranya? Bagaimana caranya? Bagaimana caranya?
-------
Kadang, saya merasa optimis juga. Misalnya dilihat dari catatan yang ini:
24
agustus - hari ketiga puasa
Hari
ini, begitu banyak yang kupelajari.
Sampai
siang tadi hatiku masih terombang-ambing antara puasa dan tidak. Di otakku
berputar-putar berbagai teori dan pikiran, yang kukontraskan dengan hati dan
juga lingkungan. Haruskah aku puasa? Mengapa? Apa bedanya jika aku tidak puasa?
Apakah Allah akan mengerti jika aku memutuskan untuk absen seperti tiga tahun
terakhir?
Tiba-tiba
aku sadar, bahwa aksiku menolak kemapanan pada akhirnya sudah menjadi kemapanan
pula. Ya, tahun pertama aku tidak beribadah karena aku benar-benar
mempertanyakan apakah cinta pada Allah harus diwujudkan dengan ibadah. Saat itu
yang kulakukan adalah pengorbanan, sebab ibadah memberiku rasa tenang. Meminjam
istilah Dicky temanku, aku saat itu “menuju Buddha” J , dalam arti
menjauhi hal yang disenangi. Aku punya dasar kuat. Aku bahkan rela mengorbankan
perasaan tenangku saat ibadah demi cinta yang tulus padaNya.
Nah,
tahun kedua dan ketiga aku mulai terbiasa tidak beribadah. Hati kecilku mulai
berontak. Mengapa aku jadi begini? Tidak beribadah karena malas. Tidak
beribadah karena sudah terbiasa absen. Tulang-tulangku jadi berat jika menatap
sajadah. Hatiku begitu tawar. Kemudian kusadari bahwa aku dan Allah tak pernah
lagi bercakap-cakap. Ini lebih parah daripada memperoleh azab, sebab diazab
berarti Allah masih mau ‘repot-repot’ memikirkanmu. Aku sedih. Allah kurasakan
menjauh. Aku sendiri.
Lalu
aku teringat lagu Bimbo, ‘aku jauh Engkau jauh, aku dekat Engkau dekat’.
Pikiran kritisku sejak dulu tidak pernah setuju bila lagu itu dimaknai secara
harfiah. Allah bukan manusia. Ia tidak akan menjauhi hambaNya yang juga
menjauhiNya. Ia juga tidak akan hanya dekat dengan orang yang mendekatiNya. Ia
bukan teman manusiamu yang akan menjauh bila kau jauh, dan mendekat bila kau
dekat, atau malah tetap menjauh ketika kau berusaha dekat. Hmmm.
Melabeli
sifat Allah seperti itu sama saja merendahkanNya. Menurutku, yang dimaksud
Bimbo dengan lagu itu adalah kedekatan dengan Allah tergantung pada kita. Allah
sendiri selalu dekat dengan kita, bahkan lebih dekat dibanding urat nadi kita
sendiri. Allah punya kekuatan tak terbayangkan untuk selalu dekat dengan
makhlukNya. Aku ingin menekankan kata tak
terbayangkan di sini untuk menggaris bawahi bahwa adalah salah jika kita
mengatribusikan sifat-sifat berbau kemanusiaan padaNya. Memang, atribusi itu
adalah satu-satunya cara untuk mencoba memahami Allah. Bahasa kita yang serba
terbatas adalah satu-satunya alat. Tapi itu BUKAN realitas tentang Allah. Itu
jejakNya yang kita ringkas. Menurutku ini penting karena hal ini akan membuat
kita lebih bijak dan toleran.
Jadi,
Allah selalu ada di sekitar kita. Allah tidak pernah jauh. Tapi kita hanya akan
tahu hal ini jika kita sendiri tidak terlalu malas untuk mengakrabiNya. Lantas
apa gunanya menyadari Allah dekat? Untuk memberimu ketenangan batin yang tidak
bisa digantikan oleh apapun. Aku pernah mengacuhkanNya sama sekali, dan
berpaling ke manapun: buku, teori, buku, pandangan, buku, pemikiran… sampai
kemudian aku tahu seribu buku pun tidak bisa menggantikan kedekatan denganNya. Ada satu hal yang selalu
hilang dan tidak bisa kutemukan di manapun. Rupanya itu adalah iman. Persis seperti
nasihat favorit Buya Hamka yang dicuplik dari sabda Nabi kepada Sufyan bin
Abdullah, “Percayalah kamu kepada Allah, kemudian pegang teguhlah pendirian
itu!”
Ya,
aku makin yakin. Allah memang tidak tergantikan.
---------------
Allah
maukah
Kau menolongku
melenyapkan
rasa segan ini
memutar
otakku yang beku
agar
hati ini tidak lagi mati
Allah
maukah
Kau membantuku
memberi
makna setiap gerak
memberi
arti setiap kata
memberi
definisi setiap pikir
Allah
Allah
Allah
maukah
Kau mengasihaniku
dan
kembalikan nikmat iman itu?
23
Agustus 2009
---------------
29
agustus 2009, hari ketujuh puasa
Malam
ini malam minggu.. :)
Tapi
aku malas ke mana-mana. Seharian ini hanya di kos-kosan. Tidur, membaca,
menonton televisi, dan sebagainya. Sepertinya aku harus mencari kegiatan di
siang dan sore hari agar tidak lemas. Ya, kupikirkan saja besok. Yang jelas
hari ini sudah terlewati dengan baik. Tadi aku shalat tarawih di masjid sebelah
kos, kemudian makan malam dengan nasi goreng telur, timun, dan dua tusuk sate
ayam.
Anyway,
pelajaran hari ini adalah tentang kesederhanaan.
Puasa
dalam keadaan indekos mengajariku banyak hal tentang kesederhanaan. Berbuka
dengan menu yang sederhana, sahur pun dengan menu yang sederhana. Baru di bulan
puasa tahun ini aku bisa menghayati makna berbuka secukupnya. Rasanya aku baru
paham mengapa Rasulullah mensunahkan berbuka hanya dengan segelas teh manis dan
dua butir kurma: sebab itu memang sudah cukup. Seperti hari ini, aku berbuka
dengan segelas teh manis panas dan sepotong roti keju ukuran sedang. Rasanya
sudah pas sekali untuk energiku shalat maghrib, lanjut isya, tarawih dan witir
di masjid. Setelah itu baru aku makan berat seperti nasi.
Biasanya,
buatku buka puasa identik dengan makan yang enak dan banyak, terus minum yang
enak dan banyak juga. Apalagi di rumah. Kue-kue kulahap, es bisa tambah
beberapa kali, teh panas pun pasti lebih dari segelas. Setelah itu shalat dan
langsung makan berat. Pokoknya begitu bedug rasanya lapar dan haus luar biasa,
seperti tidak makan setahun lamanya! :)
Sekarang
aku sudah tidak lagi kesetanan saat berbuka seperti itu. Ramadhan tahun ini,
segala puji bagi Allah, sedikit demi sedikit aku mulai menghayati makna
kesederhanaan.
Semoga
Allah ridho padaku.
----------------
Puasaku
Awalnya
disuruh
Awalnya
wajib
Lalu
cinta
Lalu
ragu
Lalu
absen
Lalu
malas
Lalu
perjalanan kulanjutkan
Dengan
berani
Tidak
berhenti sampai di sini
Jujur
pada diri sendiri
maka
Allah
tolong
beri
aku kekuatan
24
agustus 2009
--------------------
Dan selesai membaca, hati ini bertanya: sudah sampai di mana pencarian saya sekarang?
Kok kayanya baru baca ya ttg ini.. galau mahasiswa banget :)) Ini kan tahun 2009. Nah kalo mencari tuhan tahun 2013 gmn ndin? hehe :p
ReplyDeleteIya yah, cerita penderitaan ngekos! Hahaha... Mencari tuhan tahun 2013 udah lebih kalem, tapi teteup belum nemu-nemu amat :)) di Leeds ada nggak?
ReplyDeleteaq di usia 34th,jg msh mencari.. Entah karena iman yg naik ato mgk malah turun? klo kita mengandalkan pengetahuan umur bakal hbs,lbh baik kt tambah ibadah dan kedekatan kt kpd alloh swt..
ReplyDelete