Ceritanya, selama kuliah satu semester di STF Driyarkara tahun lalu, saya terobsesi pada pemikiran Jürgen Habermas, filsuf dan
sosiolog Jerman yang terkenal sebagai generasi kedua Mazhab Frankfurt. Habermas memperkenalkan konsep ranah publik (public sphere) yang tadinya saya pikir cocok sekali dengan tesis saya tentang blog. Meski kemudian profesor saya menolak penggunaan teori tersebut (setelah berdebat berminggu-minggu, hehe) saya tetap akan menuliskan pemikiran saya tentang ranah publik Habermas. Seperti biasa, diizinkan mengutip asal menyebut sumber yang jelas. Oh ya, artikel ini sangat singkat dan ditujukan sekadar untuk mengantar. Bagi teman-teman yang berminat untuk mengetahui tentang ranah publik lebih jauh, saya rekomendasikan untuk membaca buku Habermas, The Structural Transformation of the Public Sphere (US: MIT Press, 1989). Bisa diunduh di sini.
Habermas lahir 18 Juni 1929 di Düsserldorf, dari keluarga kelas menengah tradisional.
Ayahnya, Ernst Habermas, seorang pengusaha yang menjadi Kepala Kamar Dagang dan
Industri Köln, kota tempat Habermas dibesarkan. Ernst Habermas seorang pendukung
Nazi. Habermas sendiri tumbuh dalam tradisi Protestan yang kukuh—kakeknya seorang
direktur seminari di Gummersbach, dekat Köln. Semasa kecil, Habermas sulit
bergaul karena bibirnya yang sumbing membuat ia rendah diri. Ia menjalani dua
kali operasi untuk mengoreksi bentuk bibir. Di kemudian hari, Habermas mengakui
bahwa cacat inilah yang membuat ia memikirkan pentingnya berkomunikasi dari aspek yang
berbeda dari orang lain.
Yang di belakaang, masih goyaaaang? |
Habermas menamatkan kuliahnya di
Göttingen, Zürich, dan Bonn. Di universitas yang terakhir ini, ia memperoleh
gelar doktor dengan mempertahankan disertasi mengenai pemikiran filsuf Jerman,
Friedrich Wilhelm Joseph Schelling, pada tahun 1954. Dua tahun kemudian, ia
belajar filsafat dan sosiologi pada Max Horkheimer (1895-1973) dan
Theodor Adorno(1903-1969) di Johann
Wolfgang Goethe University Frankfurt am Main Institute for Social Research di Jerman.
Tapi, karena Horkheimer dan Adorno ribut soal revisi disertasi
Habermas—Horkheimer konon meminta revisi terlalu banyak—Habermas pindah ke University of Marburg untuk
menyelesaikan habilitation di bawah bimbingan Wolfgang Abendroth, seorang Marxis. Karya ini
diterbitkan pada tahun 1989 dalam bahasa Inggris dengan judul The Structural Transformation of the Public Sphere: an Inquiry Into a Category of Bourgeois Society.
Tahun 1961,
Habermas mengajar di Marburg dan setahun kemudian menerima tawaran sebagai
profesor luar biasa di University of Heidelberg. Tiga tahun
kemudian, dengan dukungan penuh Adorno, Habermas kembali ke Frankfurt untuk
mengambil alih posisi Horkheimer sebagai kepala departemen filsafat dan
sosiologi. Tahun 1971, Habermas menjabat sebagai direktur Max Planck Institute for the Study of the
Scientific-Technical World di Starnberg, dekat Munich, sampai tahun
1983. Pada masa ini pula ia menulis magnum opus The Thory of Communicative Action. Habermas lalu
kembali ke Frankfurt dan bekerja di sana sampai pensiun tahun 1993. Habermas
menerima banyak sekali penghargaan sebagai intelektual dan menurut indeks Times Higher Education Guide tahun 2007,
ia berada di peringkat tujuh penulis ilmu sosial yang paling sering dikutip di
dunia. Ia menikah dan memiliki tiga anak.
Ranah Publik Dalam Pemikiran Jurgen Habermas
Oleh: Andina Dian Dwifatma*
Masyarakat ideal menurut Jurgen Habermas bukan lagi
masyarakat tanpa kelas seperti yang dicita-citakan Karl Marx, tapi masyarakat
di mana setiap anggotanya dapat bebas mengemukakan ide dan gagasan tanpa takut
direpresi oleh pihak-pihak tertentu. Inilah yang menjadi akar dari seluruh
gagasan Habermas tentang ranah publik (public
sphere).
Bagaimana
cara memperoleh jalan keluar yang disepakati bersama oleh masyarakat? Kuncinya
adalah dialog yang dilakukan melalui ranah-ranah publik. Habermas (1989)
mendefinisikan ranah publik sebagai suatu konsep ruang di mana
individu-individu berkumpul untuk membahas kepentingan bersama, tanpa dibebani
oleh kepentingan-kepentingan etnosentrisme masing-masing, untuk menemukan suatu
konsensus universal demi kebaikan orang banyak.
Lebih
lanjut, Habermas memaparkan bahwa dulu—persisnya di penghujung abad 18 dan
19—terdapat berbagai ranah publik borjuis. Disebut demikian karena yang
berpartisipasi di dalamnya adalah para borjuis; maklum saja, arena yang disebut
ranah publik adalah surat kabar, jurnal, parlemen, klub politik, salon sastra,
dan kafe. Tapi di sinilah warga berdiskusi, membicarakan kepentingan bersama,
dan menghasilkan “nalar publik” sebagai pengawas terhadap kekuasaan negara.
Tapi pada abad ke-20, terjadi kemerosotan ruang publik borjuis,
sekurang-kurangnya oleh dua hal, yakni kekuasaan negara yang mengarah pada
absolutisme, dan industri budaya yang mau mencaplok segalanya menjadi
komoditas.
Industri
budaya yang bersifat anti-pencerahan membuat rakyat terlena, mengurusi hal-hal
privat yang dijadikan komoditas, sehingga lupa membicarakan masalah-masalah
yang terkait dengan kepentingan bersama dalam hidup berbangsa. Sedangkan negara
kesejahteraan (welfare state)
meniadakan batasan publik dan privat. Negara masuk begitu jauh dalam kehidupan
privat masyarakat sehingga justru melumpuhkan nalar publik.
Habermas
ingin mengembalikan ranah publik ke fungsinya seperti ranah publik borjuis era
abad 18 dan 19. Ranah publik seperti itu mengandaikan adanya situasi bicara
ideal (ideal speech situation) di
mana setiap partisipan dalam ranah publik dapat mengemukakan pendapatnya
masing-masing tanpa ditekan oleh pihak-pihak tertentu. Nantinya pendapat yang
menang adalah yang argumentasinya paling kuat dan paling bermanfaat untuk
kepentingan bersama. Meskipun ranah publik borjuis memiliki nuansa dialog yang
berbeda-beda, menurut Habermas ada tiga kriteria umum yang berlaku di dalamnya.
Pertama, ada kesetaraan antara partisipan. Status sosial bukan berarti tidak
ada atau tidak disadari, tetapi bisa dilampaui. Artinya, dalam dialog semua
orang duduk bersama dengan status yang sama, yaitu warga negara. Kepentingan
ekonomi dan kekuasaan juga perlu dilampaui. Kedua,
yang dibicarakan dalam dialog haruslah masalah-masalah yang menyangkut
kepentingan bersama. Artinya, jikapun terjadi dialog tapi yang dibicarakan
urusan privat orang lain, ranah publik tidak terwujud. Ketiga, sifat ranah publik haruslah inklusif, artinya semua orang
dapat bergabung dan mengungkapkan pemikirannya.
Situasi bicara ideal dikembangkan Habermas dari teori speech-act yang dikemukakan J.L. Austin
(1911-1960). Menurut Austin, ujaran adalah selalu merupakan bentuk tindakan.
Aspek ilukotif ini, misalnya, tampak pada ucapan “saya berjanji besok akan
datang” atau “saya nyatakan kelas ini berakhir”. Habermas kemudian menyusun
empat klaim komunikasi, yaitu (1) harus jelas,
artinya orang harus dapat mengungkapkan dengan tepat apa yang dimaksud; (2)
harus benar, artinya mengungkapkan
apa yang mau diungkapkan; (3) harus jujur,
artinya tidak boleh bohong; (4) harus betul,
artinya sesuai norma-norma yang diandaikan bersama (Magnis-Suseno, 2005).
Sesungguhnya
ada beberapa hal yang dapat dikritik dari konsep ranah publik Habermasian.
Transformasi ranah publik, misalnya, seolah mengandaikan bahwa ranah publik
borjuis abad 18 dan 19 adalah konsep yang sangat ideal. Padahal, ranah publik
borjuis hanya berisi pria kulit putih beragama Kristen anggota kelas menengah.
Artinya, perempuan dan anak-anak, kaum miskin alias proletar, orang-orang kulit
berwarna dan beragama non-Kristen, tidak mendapat tempat untuk didengarkan
suaranya. Mensyaratkan individu-individu yang datang untuk berkumpul di ranah
publik tidak memiliki kepentingan ekonomi, politik, sosial, budaya, atau
apapun, juga sangat sulit dipenuhi. Bukankah kepentingan adalah sesuatu yang
inheren dalam diri manusia, dan bahkan ketika bicara tentang kepentingan
kognitif pun Habermas sendiri telah mengakuinya.
Keberatan-keberatan
terhadap Habermas mungkin bisa dilihat dari titik bahwa, bagaimanapun, Habermas
adalah seorang idealis. Konsep-konsepnya, yang ia pegang dan pertahankan dengan
gigih, adalah selalu hasil idealisasi. Habermas selalu bicara dalam tataran
normatif dan ideal, sehingga seperti Marx, ia bisa dituduh menciptakan utopia
baru. Tapi, seperti Marx juga, Habermas sangat optimistis dengan cita-citanya.
Dan barangkali itulah yang kita perlukan sekarang—suatu keyakinan bahwa kondisi
ideal akan dapat tercapai. ***
RUJUKAN
Habermas, Jurgen. (1989). The Structural Transformation of the Public Sphere. US: MIT Press
Magnis-Suseno, Franz. (2005). Pijar-pijar
Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.
*Tulisan ini dibuat untuk memenuhi tugas akhir Extension Course (EC)
Filsafat Politik “Demokrasi dan Para Musuhnya”, STF Driyarkara, Desember 2013.
semester ini, saya diajar seorang Jerman, dan entah kenapa--dalam sebuah obrolan di kafe--dia bilang "Jangan baca Jurgen Habermas. Saya saja tidak paham apa yang ditulisnya."
ReplyDeleteKhotim Muzakka: Kalau si Jerman tak paham Habermas, tidak apa-apa. Tapi menyuruh murid untuk tidak membaca Habermas, menurutku salah. Hanya karena dia tidak paham, belum tentu orang lain juga, kan? :)
ReplyDelete