Smartphone bukan saja sukses mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat, tapi juga telah membikinku menjadi zombie. Layarnya seperti terus-terusan berkata, "Tatap aku." Smartphone membuat ibu jariku secara otomatis scrolling layar tiap beberapa menit--meski tak selalu ada notifikasi.
Gara-gara smartphone, tak ada lagi waktu melamun. Alam bawah sadar telah memprogramku untuk meraih smartphone kapan pun aku merasa menganggur. Dulu, zaman masih pakai Nokia batangan epik yang bisa diganti-ganti casingnya, aku hanya akan mengecek ponsel kalau berdering. Artinya, ada yang cari aku, entah itu lewat sms atau telepon.
Sekarang? Aku mirip orang sakit saraf. Sedikit-sedikit merogoh saku, scroll-scroll, locked, masukkan lagi. Keluarkan lagi, scroll-scroll, locked, masukkan lagi. Keluarkan lagi, .... begitu terus to infinity.
Padahal aku nggak pernah install banyak aplikasi. Aku juga bukan pecandu media sosial--satu-satunya yang aku punya hanya Twitter dan sering sekali aku mendengar komentar "HAH? SERIUS KAMU NGGAK PUNYA FACEBOOK?"
(Biarpun nggak punya akun Facebook, yang penting punya NPWP. Cih.)
Ada artikel di BigThink, situs dengan misi utama mengajarkan kita bagaimana cara mengelola informasi di era keberlimpahan data, yang menggambarkan dengan bagus mengapa smartphone bisa bikin kita miskin ide kreatif. Salah satunya adalah karena ide kreatif hanya bisa muncul dari wandering mind alias pikiran yang mengembara ke mana-mana, sesukanya, tanpa batas. Ini tidak mungkin terjadi ketika pikiran kita sibuk setiap waktu.
Dan smartphone memang bikin pikiran kita sibuk setiap waktu.
Dengan smartphone, browsing tak lagi hanya bisa dilakukan pakai laptop. Fasilitas hyperlinks di artikel-artikel keren mengajak kita berselancar dari website satu ke website lain. Kadang antara artikel awal dengan artikel akhir sudah enggak nyambung. Tapi buat mereka yang suka baca, ini surga. Belum lagi aplikasi seperti Pocket yang bisa simpan artikel-artikel bagus untuk kemudian dibaca saat offline. Folder Pocketku terisi penuh dengan berbagai artikel, cerpen, Q&A yang toh enggak semuanya terbaca saking banyaknya.
Belum lagi, smartphone membuat status kita always available. Dulu, zaman komunikasi via ponsel hanya sebatas SMS dan telepon, kita lebih deliberatif dalam membalas pesan. Terima sms jam 10 pagi, masih bisa dibalas 30 menit kemudian. Ada waktu untuk berpikir, apalagi kalau yang dibahas itu masalah yang rada kompleks.
Sekarang? Boro-boro. Kalau sampai chat di WhatsApp hanya centang biru atau Line hanya bertuliskan 'read', dijamin perasaan galau akan menghampiri. Bukan mustahil ujung-ujungnya jadi saling sensi. Dan aku muak dengan perasaan harus segera membalas pesan, atau pura-pura enggak baca biar enggak dibilang sombong, atau ngumpetin status last seen biar enggak dicari orang.
Di sisi lain, smartphone memang sangat memudahkan hidup. Itu enggak ada gunanya dibantah. Aku yang lagi LDR dengan suami merasa sangat terbantu dengan fasilitas chat dan video call di aplikasi smartphone. (Terpujilah pencipta Line dan WhatsApp, semoga Tuhan menghadiahi mereka rumah di surga.) Aplikasi note to-do-list juga membuat hidup lebih terorganisir. Belum lagi ovulation tracker atau Waze yang anti-nyasar. Dan email yang tersinkronisasi di ponsel? Ya Tuhan, itu pastilah penemuan terbaik sepanjang sejarah peradaban.
Tapi apakah semua kemudahan itu layak ditukar dengan menjadi zombie? Aku kangen ponselku hanya bunyi ketika ada SMS atau telepon. Aku kangen melamun dalam perjalanan pulang-pergi kantor. Aku kangen ngobrol di kafe dengan teman tanpa harus ngecek ponsel tiap 10 menit, kalau-kalau ada ada yang WhatsApp, Line, atau mention di Twitter..
Mungkin kalau suamiku sudah kembali dari sekolah luar negeri, aku bakal mempertimbangkan untuk stop pakai smartphone. Aku punya dugaan kuat, hidup bakal lebih sederhana kalau kita kembali ke dumbphone. Ada yang jual Nokia 3310 kondisi mulus nggak? PM ane, gan.
Gara-gara smartphone, tak ada lagi waktu melamun. Alam bawah sadar telah memprogramku untuk meraih smartphone kapan pun aku merasa menganggur. Dulu, zaman masih pakai Nokia batangan epik yang bisa diganti-ganti casingnya, aku hanya akan mengecek ponsel kalau berdering. Artinya, ada yang cari aku, entah itu lewat sms atau telepon.
Sekarang? Aku mirip orang sakit saraf. Sedikit-sedikit merogoh saku, scroll-scroll, locked, masukkan lagi. Keluarkan lagi, scroll-scroll, locked, masukkan lagi. Keluarkan lagi, .... begitu terus to infinity.
Gambar dari sini |
Padahal aku nggak pernah install banyak aplikasi. Aku juga bukan pecandu media sosial--satu-satunya yang aku punya hanya Twitter dan sering sekali aku mendengar komentar "HAH? SERIUS KAMU NGGAK PUNYA FACEBOOK?"
(Biarpun nggak punya akun Facebook, yang penting punya NPWP. Cih.)
Ada artikel di BigThink, situs dengan misi utama mengajarkan kita bagaimana cara mengelola informasi di era keberlimpahan data, yang menggambarkan dengan bagus mengapa smartphone bisa bikin kita miskin ide kreatif. Salah satunya adalah karena ide kreatif hanya bisa muncul dari wandering mind alias pikiran yang mengembara ke mana-mana, sesukanya, tanpa batas. Ini tidak mungkin terjadi ketika pikiran kita sibuk setiap waktu.
Dan smartphone memang bikin pikiran kita sibuk setiap waktu.
Dengan smartphone, browsing tak lagi hanya bisa dilakukan pakai laptop. Fasilitas hyperlinks di artikel-artikel keren mengajak kita berselancar dari website satu ke website lain. Kadang antara artikel awal dengan artikel akhir sudah enggak nyambung. Tapi buat mereka yang suka baca, ini surga. Belum lagi aplikasi seperti Pocket yang bisa simpan artikel-artikel bagus untuk kemudian dibaca saat offline. Folder Pocketku terisi penuh dengan berbagai artikel, cerpen, Q&A yang toh enggak semuanya terbaca saking banyaknya.
Belum lagi, smartphone membuat status kita always available. Dulu, zaman komunikasi via ponsel hanya sebatas SMS dan telepon, kita lebih deliberatif dalam membalas pesan. Terima sms jam 10 pagi, masih bisa dibalas 30 menit kemudian. Ada waktu untuk berpikir, apalagi kalau yang dibahas itu masalah yang rada kompleks.
Sekarang? Boro-boro. Kalau sampai chat di WhatsApp hanya centang biru atau Line hanya bertuliskan 'read', dijamin perasaan galau akan menghampiri. Bukan mustahil ujung-ujungnya jadi saling sensi. Dan aku muak dengan perasaan harus segera membalas pesan, atau pura-pura enggak baca biar enggak dibilang sombong, atau ngumpetin status last seen biar enggak dicari orang.
Di sisi lain, smartphone memang sangat memudahkan hidup. Itu enggak ada gunanya dibantah. Aku yang lagi LDR dengan suami merasa sangat terbantu dengan fasilitas chat dan video call di aplikasi smartphone. (Terpujilah pencipta Line dan WhatsApp, semoga Tuhan menghadiahi mereka rumah di surga.) Aplikasi note to-do-list juga membuat hidup lebih terorganisir. Belum lagi ovulation tracker atau Waze yang anti-nyasar. Dan email yang tersinkronisasi di ponsel? Ya Tuhan, itu pastilah penemuan terbaik sepanjang sejarah peradaban.
Tapi apakah semua kemudahan itu layak ditukar dengan menjadi zombie? Aku kangen ponselku hanya bunyi ketika ada SMS atau telepon. Aku kangen melamun dalam perjalanan pulang-pergi kantor. Aku kangen ngobrol di kafe dengan teman tanpa harus ngecek ponsel tiap 10 menit, kalau-kalau ada ada yang WhatsApp, Line, atau mention di Twitter..
Mungkin kalau suamiku sudah kembali dari sekolah luar negeri, aku bakal mempertimbangkan untuk stop pakai smartphone. Aku punya dugaan kuat, hidup bakal lebih sederhana kalau kita kembali ke dumbphone. Ada yang jual Nokia 3310 kondisi mulus nggak? PM ane, gan.
Hoahahaa... ini jleeebb sekaligus enlightening!
ReplyDelete▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬
ReplyDeleteSmartphone kalau tidak tepat guna malah jadi masalah.
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬
@Nurul: Thanks!
ReplyDelete@Ron: Pengguna harus lebih smart dari ponselnya.
ReplyDeletetanpa terasa aku sudah berapa di blog anda sekian lama dengan sekian jual yang dibaca, yang membawa aku kesini adalah joko widodo
ReplyDeleteTerima kasih, selamat membaca, semoga senang.
ReplyDeletePencerahan ke-dua setelah baca buku Marie Kondo 🎶
ReplyDelete