Oleh: Andina Dwifatma
Dari total 23 cerita pendek dalam buku “Ibu Pergi ke Surga” karya Sitor Situmorang, lima di antaranya menampilkan tokoh perempuan secara cukup menonjol. Kelima cerpen itu adalah “Fontenay aux Roses”, “Chéri”, “Perawan Tengah Hari”, “Peribahasa Jepang”, dan “Kisah Surat dari Legian”. Kelima cerpen ini saya pilih tanpa melalui metodologi yang ketat, semata-mata memberanikan diri menafsir karya Sitor sebagai seorang pembaca.
Para tokoh perempuan dalam lima cerpen tersebut muncul dengan adukan persoalan yang berbeda-beda, tapi benang merahnya sama: eksistensialisme. Editor J.J. Rizal dalam kata pengantarnya berpendapat, cerpen-cerpen Sitor sangat kental dengan tema-tema eksistensialis, walau Sitor sendiri tak ingin mendudukkan karyanya dalam wacana filsafat.
Rupanya, kecenderungan kuat pada tema eksistensialisme berpengaruh pula pada cara Sitor menggambarkan para protagonis perempuan. Memang Sitor tak selalu bisa menghindari deskripsi yang sifatnya sangat maskulin, misalnya menyebut perempuan sebagai “binatang manis [..] ingin dielus” (hlm. 24), tapi secara umum ia memandang para tokoh perempuannya sebagai individu, dengan segenap persoalan hidup yang harus mereka tanggungkan.
Yang menarik, berbeda dengan pengarang macam Ernest Hemingway yang selalu menciptakan tokoh perempuan pasif, mudah resah, plin-plan, tak banyak tahu, dan melulu harus dilindungi, tokoh-tokoh perempuan dalam lima cerpen Sitor tidak seragam. Perempuan bagi Sitor tidak jatuh hanya dalam satu kategori. Mari kita periksa satu-persatu, secara ringkas.
Angelique dalam “Fontenay aux Roses” sekilas tampak seperti stereotype kaum eksistensialis Prancis pada masa itu. Si gadis Italia itu langsing, tak berdandan, main piano, suka mendiskusikan ide-ide besar, otaknya “.. berisi, bahkan terlalu banyak isi, terlalu berat untuk didukung badan kecil manis.” (hlm. 17), mengisap sigaret padahal menderita TBC, dan “membungkus dadanya dengan semacam tutup meja.”
Setelah kematian Angelique, tokoh ‘aku’ mendapat undangan dari desa Fontenay aux Roses, yang ternyata merupakan kampung halaman Angelique. Gadis itu ternyata tak berasal dari Milano. Bapaknya pun bukan saudagar, melainkan partisan tempur melawan Nazi Jerman. Angelique sendiri ingin menjadi dokter paru-paru tapi gagal karena sakitnya.
Angelique penuh dengan gagasan nyaris nihilistik tentang kehidupan, di dunia maupun di akhirat, sampai tokoh ‘aku’ berpikir “manusia yang hidup dari ilusi melulu lebih berbelit jiwanya.” (hlm. 17). Si gadis ini tak percaya pada surga dan neraka, tak percaya pada “paradise lost”. Nama Angelique pun ia akui bukan nama asli, melainkan nama yang ia pilih sendiri karena merasa sebentar lagi akan mati.
Tokoh Chéri pada cerpen berjudul sama, adalah contoh lain bagaimana Sitor menampilkan heroine yang pandangan hidupnya begitu “bebas” sehingga mampu membuat tokoh protagonis lelaki terpesona sekaligus putus asa. Chéri menderita kanker tapi tak membiarkan pacarnya, Mustafa, tahu. Mustafa yang hendak kembali ke negara asalnya setelah masa studinya di Paris selesai, bermaksud meminang Chéri sebagai istri. Sebagian karena Mustafa tak bisa membayangkan beristrikan orang lain selain Chéri, sebagian lagi karena ia kasihan mengetahui Chéri sedang menderita (penyakit kanker Chéri diketahui Mustafa dari ibunya).
Tapi apa respon Chéri ketika diajak kawin oleh Mustafa?
“.. bukan karena saya sakit saya memerlukan siapa. Hanya karena saya hidup dan saya menikmatinya, karena segera akan diputuskan, karena ia tidak abadi.” (hlm. 27)
Lalu Chéri menunjuk seorang lelaki tua yang terjun dengan parasut dan bilang, “Dia takut mati.”
Ketika menulis ini tentu Sitor ingin bilang, gadis ini tidak. Hidup bagi Chéri bukan sebuah keindahan yang harus ditangisi ketika berakhir, seperti kematian juga bukan sesuatu yang perlu ditakuti. Hidup hanyalah sepotong periode yang dimulai ketika kesadaran kita muncul (saat mengenal bahasa?) dan diakhiri saat jantung berhenti berdetak. Sebelum dan setelahnya adalah masa-masa yang gelap dan tak usah dicaritahu kebenarannya. Itulah mengapa tokoh Chéri menyapa kematian seperti kawan lama dan samar-samar menertawakan ajakan kawin Mustafa.
Corrie dalam cerita “Perawan Tengah Hari” tak kalah unik. Ia remaja perempuan berusia 17 tahun, anak seorang pemilik bengkel mobil. Ibu Corrie pergi dari rumah dan anak ini selalu kesepian. Suatu hari, ayahnya mempekerjakan montir muda baru nan tampan. Kepada montir muda inilah Corrie melepaskan keperawanannya dengan penuh kesadaran dan rasa bahagia, melalui proses yang diceritakan Sitor secara puitik.
Setelah melakukan itu, Corrie tiba-tiba dapat memahami mengapa ayahnya selalu sibuk bekerja. Ia juga mampu memaafkan ibunya yang pergi meninggalkan dia. Hubungan seks yang dilakukan buat pertama kalinya oleh seorang gadis, diberi kerangka yang amat luas oleh Sitor. Ini bukan persoalan selaput dara atau hawa nafsu, melainkan suatu tanda kedewasaan yang merupakan pilihan hidup.
“Peribahasa Jepang” menceritakan persahabatan tokoh ‘tuan asing’ dengan gadis Jepang bernama Kimiko di Tokyo. ‘Tuan asing’ merasa terbantu karena Kimiko bisa berbahasa Inggris walaupun sedikit. Kimiko, yang pada awal cerita dideskripsikan sebagai “si gadis kecil yang pakai rok yang mengembang luas” itu menemani ‘Tuan asing’ bertamasya di sekitar Tokyo, bersama dua orang temannya yang juga gadis remaja.
Empat tahun kemudian, ketika ‘Tuan asing’ berkunjung lagi ke Tokyo, Kimiko telah menjadi istri dari seorang pria Jepang bernama Iwasaki, ibu dari bocah lelaki berusia dua tahun, dan pemilik toko rempah-rempah. Perubahan Kimiko dari gadis kecil menjadi perempuan dewasa inilah yang diceritakan Sitor dengan subtil, selaras dengan surat pertama Kimiko yang mengutip sebuah peribahasa Jepang, yang dalam bahasa Inggris berarti, “Time is flying! Like an arrow!”
Cerpen kelima adalah “Kisah Surat dari Legian”. Tokoh Yulia dalam cerpen ini adalah Julie Taymor, seorang dramawan berpengaruh di Amerika Serikat. Sitor mengenal Julie ketika perempuan itu sedang mempelajari seni teater Jawa dan Bali untuk dipadukan dengan seni teater Barat. Dalam menggambarkan tokoh Yulia, Sitor bahkan secara gamblang sudah menjelaskan definisi feminisme versinya.
“Ia juga bukan seorang feminis, karena ia sudah biasa hidup dan bekerja sebagai rekan penuh dalam kelompok laki-perempuan tanpa diskriminasi yang terlebih dimungkinkan pergaulan seniman seperti yang dia alami.” (hlm. 154)
“Coretan Yulia malah ‘kejantan-jantanan’ dalam pengamatanku. Sublimasi? Pasti Yulia seorang “bebas”, tanpa jadi seorang sinis dan frustrasi tentang kebetinaannya dan kejantanan, sebagai dua hal yang dipertentangkan mutlak oleh generasi baru di antara kaum feminis di Eropa.” (hlm. 160)
Cara Sitor menciptakan tokoh-tokoh perempuannya, merefleksikan sudut pandang dia terhadap relasi perempuan-lelaki yang sampai hari ini masih menjadi perdebatan seru. Bagi saya, Sitor sudah melampaui isu tersebut. Sitor tidak terjebak dalam cara pandang male-gazed (bisa jadi diadopsi pula secara tak sadar oleh pengarang perempuan yang terhegemoni) yang mendeskripsikan perempuan melulu dengan kata-kata ‘payudara’, ‘pinggul ramping’, ‘tubuh sintal’, ‘emosional’, ‘tangis’, dan ‘lemah’. Sitor, dengan lembut, menampilkan tokoh perempuan tanpa aneka stereotype tersebut.
Benar belaka bila Sitor Situmorang disebut sebagai seorang “pujangga pemikir”. Cerpen-cerpen Sitor menunjukkan bahwa ia, selain memahami manusia dengan segenap hasrat, impian, dan ketakutannya, juga lihai memainkan gaya bertutur sehingga cerita-ceritanya tak hanya berisi plot dan alur, melainkan selalu mengandung suatu wacana yang lebih luas. Sitor adalah jenis sastrawan yang mampu berpikir lebih besar dari dirinya sendiri. Dan ini terlihat baik dalam jalan hidupnya, maupun cerita-cerita yang ditulisnya.
Karya Baru
Sitor Situmorang pertama-tama saya kenal sebagai penyair, alih-alih cerpenis. Saya lupa persisnya di mana saya temukan puisi Sitor—mestinya bukan di bangku pelajaran Bahasa Indonesia, sebab setiap guru kami membicarakan sastrawan angkatan ’45, nama yang disebut selalu Chairil Anwar, Rivai Apin, atau Asrul Sani. Kami tak pernah disuruh menghafalkan puisi Sitor, atau memperbincangkan maknanya, seperti yang kami lakukan dengan Chairil Anwar dan puisi-puisinya. Dalam buku pelajaran di zaman Orde Baru, memang agak sulit membayangkan nama sastrawan seperti Sitor, yang secara terbuka bersikap “anti-Soeharto” dan pernah dipenjara delapan tahun di Gang Tengah Salemba (1967-1975) tanpa peradilan, disebutkan secara terbuka dan dipelajari secara mendalam.
Siapa sangka, Sitor kemudian memainkan peran yang cukup penting dalam upaya saya menulis cerita. Empat tahun lalu saat sedang berkutat menyelesaikan naskah novel pertama, yang ketika itu masih berupa ide kasar, entah mengapa saya teringat pada Sitor Situmorang dan puisi-puisinya. Pencarian di dunia maya membawa saya pada puisi “Surat Kertas Hijau”, yang diterbitkan tahun 1953, dan secara kebetulan adalah kumpulan sajak pertamanya.
Bunyi puisi itu begini:
Segala kedaraannya tersaji hijau muda
Melayang di lembaran surat musim bunga
Berita dari jauh
Sebelum kapal angkat sauh
Segala kemontokan menonjol di kata-kata
Menepis dalam kelakar sonder dusta
Harum anak dara
mengimbau dari seberang benua
Mari, Dik, tak lama hidup ini
Semusim dan semusim lagi
Burung pun berpulangan
Mari, Dik, kekal bisa semua ini
Peluk goreskan di tempat ini
Sebelum kapal dirapatkan
Bagi saya yang dilahirkan pertengahan tahun 1980-an, banyak kata dalam puisi itu yang sebenarnya tak familiar, misalnya ‘sonder’. Sedangkan kata-kata seperti ‘kedaraan’, ‘kemontokan’, dan cara panggil ‘Dik’, membuat saya agak geli karena puisi ini terasa datang dari suatu zaman yang asing. Tapi, segalanya berubah pada bait ‘semusim, dan semusim lagi’.
Ada yang merekah di hati usai membaca kalimat itu, yang bagi saya bicara begitu banyak. Sekonyong-konyong dalam kepala ini berenang-renang suatu gagasan cerita, tentang seseorang yang mencari apa yang paling penting dan hakiki dalam kehidupannya. Dalam pencarian itu, ia pasti mengalami berbagai hal yang akan mengubah hidup, sampai pada titik paling ekstrim. Meski demikian, sesulit apapun keadaan, ia akan tetap menjalaninya dengan perasaan penuh harapan—sebab bagaimanapun susahnya hari ini, hari esok akan membawa musim yang lain. Lalu “..semusim, dan semusim lagi.”
Novel perdana itu pun jadilah. Tanpa malu-malu, saya comot bait dari puisi Sitor yang istimewa itu sebagai judul. Sastrawan Seno Gumira Ajidarma dalam endorsement-nya menulis, yang paling menarik adalah bagaimana pengarang memindahkan bait dari puisi Sitor menjadi suatu cerita yang sama sekali terlepas dari konteks puisi. Ini persis dengan puisi Sitor “Malam Lebaran”, yang diangkat menjadi film “Bulan di Atas Kuburan” oleh sutradara Asrul Sani. Puisi Sitor telah menghasilkan karya-karya yang bukan sekadar adaptasi, melainkan karya baru.
Saya kira, inilah kekuatan Sitor yang paling dahsyat, baik sebagai penyair maupun cerpenis. Alih-alih teks mati, karya Sitor punya daya menantang pembaca untuk menciptakan sesuatu yang lain sama sekali. ***
Andina Dwifatma mengarang novel “Semusim, dan Semusim Lagi” (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2013). Paper ini adalah bahan diskusi buku “Ibu Pergi ke Surga” (Depok: Komunitas Bambu, 2015) karya Sitor Situmorang, di Freedom Institute, 28 April 2015.
Dari total 23 cerita pendek dalam buku “Ibu Pergi ke Surga” karya Sitor Situmorang, lima di antaranya menampilkan tokoh perempuan secara cukup menonjol. Kelima cerpen itu adalah “Fontenay aux Roses”, “Chéri”, “Perawan Tengah Hari”, “Peribahasa Jepang”, dan “Kisah Surat dari Legian”. Kelima cerpen ini saya pilih tanpa melalui metodologi yang ketat, semata-mata memberanikan diri menafsir karya Sitor sebagai seorang pembaca.
Para tokoh perempuan dalam lima cerpen tersebut muncul dengan adukan persoalan yang berbeda-beda, tapi benang merahnya sama: eksistensialisme. Editor J.J. Rizal dalam kata pengantarnya berpendapat, cerpen-cerpen Sitor sangat kental dengan tema-tema eksistensialis, walau Sitor sendiri tak ingin mendudukkan karyanya dalam wacana filsafat.
Rupanya, kecenderungan kuat pada tema eksistensialisme berpengaruh pula pada cara Sitor menggambarkan para protagonis perempuan. Memang Sitor tak selalu bisa menghindari deskripsi yang sifatnya sangat maskulin, misalnya menyebut perempuan sebagai “binatang manis [..] ingin dielus” (hlm. 24), tapi secara umum ia memandang para tokoh perempuannya sebagai individu, dengan segenap persoalan hidup yang harus mereka tanggungkan.
Yang menarik, berbeda dengan pengarang macam Ernest Hemingway yang selalu menciptakan tokoh perempuan pasif, mudah resah, plin-plan, tak banyak tahu, dan melulu harus dilindungi, tokoh-tokoh perempuan dalam lima cerpen Sitor tidak seragam. Perempuan bagi Sitor tidak jatuh hanya dalam satu kategori. Mari kita periksa satu-persatu, secara ringkas.
Angelique dalam “Fontenay aux Roses” sekilas tampak seperti stereotype kaum eksistensialis Prancis pada masa itu. Si gadis Italia itu langsing, tak berdandan, main piano, suka mendiskusikan ide-ide besar, otaknya “.. berisi, bahkan terlalu banyak isi, terlalu berat untuk didukung badan kecil manis.” (hlm. 17), mengisap sigaret padahal menderita TBC, dan “membungkus dadanya dengan semacam tutup meja.”
Setelah kematian Angelique, tokoh ‘aku’ mendapat undangan dari desa Fontenay aux Roses, yang ternyata merupakan kampung halaman Angelique. Gadis itu ternyata tak berasal dari Milano. Bapaknya pun bukan saudagar, melainkan partisan tempur melawan Nazi Jerman. Angelique sendiri ingin menjadi dokter paru-paru tapi gagal karena sakitnya.
Angelique penuh dengan gagasan nyaris nihilistik tentang kehidupan, di dunia maupun di akhirat, sampai tokoh ‘aku’ berpikir “manusia yang hidup dari ilusi melulu lebih berbelit jiwanya.” (hlm. 17). Si gadis ini tak percaya pada surga dan neraka, tak percaya pada “paradise lost”. Nama Angelique pun ia akui bukan nama asli, melainkan nama yang ia pilih sendiri karena merasa sebentar lagi akan mati.
Tokoh Chéri pada cerpen berjudul sama, adalah contoh lain bagaimana Sitor menampilkan heroine yang pandangan hidupnya begitu “bebas” sehingga mampu membuat tokoh protagonis lelaki terpesona sekaligus putus asa. Chéri menderita kanker tapi tak membiarkan pacarnya, Mustafa, tahu. Mustafa yang hendak kembali ke negara asalnya setelah masa studinya di Paris selesai, bermaksud meminang Chéri sebagai istri. Sebagian karena Mustafa tak bisa membayangkan beristrikan orang lain selain Chéri, sebagian lagi karena ia kasihan mengetahui Chéri sedang menderita (penyakit kanker Chéri diketahui Mustafa dari ibunya).
Tapi apa respon Chéri ketika diajak kawin oleh Mustafa?
“.. bukan karena saya sakit saya memerlukan siapa. Hanya karena saya hidup dan saya menikmatinya, karena segera akan diputuskan, karena ia tidak abadi.” (hlm. 27)
Lalu Chéri menunjuk seorang lelaki tua yang terjun dengan parasut dan bilang, “Dia takut mati.”
Ketika menulis ini tentu Sitor ingin bilang, gadis ini tidak. Hidup bagi Chéri bukan sebuah keindahan yang harus ditangisi ketika berakhir, seperti kematian juga bukan sesuatu yang perlu ditakuti. Hidup hanyalah sepotong periode yang dimulai ketika kesadaran kita muncul (saat mengenal bahasa?) dan diakhiri saat jantung berhenti berdetak. Sebelum dan setelahnya adalah masa-masa yang gelap dan tak usah dicaritahu kebenarannya. Itulah mengapa tokoh Chéri menyapa kematian seperti kawan lama dan samar-samar menertawakan ajakan kawin Mustafa.
Corrie dalam cerita “Perawan Tengah Hari” tak kalah unik. Ia remaja perempuan berusia 17 tahun, anak seorang pemilik bengkel mobil. Ibu Corrie pergi dari rumah dan anak ini selalu kesepian. Suatu hari, ayahnya mempekerjakan montir muda baru nan tampan. Kepada montir muda inilah Corrie melepaskan keperawanannya dengan penuh kesadaran dan rasa bahagia, melalui proses yang diceritakan Sitor secara puitik.
Setelah melakukan itu, Corrie tiba-tiba dapat memahami mengapa ayahnya selalu sibuk bekerja. Ia juga mampu memaafkan ibunya yang pergi meninggalkan dia. Hubungan seks yang dilakukan buat pertama kalinya oleh seorang gadis, diberi kerangka yang amat luas oleh Sitor. Ini bukan persoalan selaput dara atau hawa nafsu, melainkan suatu tanda kedewasaan yang merupakan pilihan hidup.
“Peribahasa Jepang” menceritakan persahabatan tokoh ‘tuan asing’ dengan gadis Jepang bernama Kimiko di Tokyo. ‘Tuan asing’ merasa terbantu karena Kimiko bisa berbahasa Inggris walaupun sedikit. Kimiko, yang pada awal cerita dideskripsikan sebagai “si gadis kecil yang pakai rok yang mengembang luas” itu menemani ‘Tuan asing’ bertamasya di sekitar Tokyo, bersama dua orang temannya yang juga gadis remaja.
Empat tahun kemudian, ketika ‘Tuan asing’ berkunjung lagi ke Tokyo, Kimiko telah menjadi istri dari seorang pria Jepang bernama Iwasaki, ibu dari bocah lelaki berusia dua tahun, dan pemilik toko rempah-rempah. Perubahan Kimiko dari gadis kecil menjadi perempuan dewasa inilah yang diceritakan Sitor dengan subtil, selaras dengan surat pertama Kimiko yang mengutip sebuah peribahasa Jepang, yang dalam bahasa Inggris berarti, “Time is flying! Like an arrow!”
Cerpen kelima adalah “Kisah Surat dari Legian”. Tokoh Yulia dalam cerpen ini adalah Julie Taymor, seorang dramawan berpengaruh di Amerika Serikat. Sitor mengenal Julie ketika perempuan itu sedang mempelajari seni teater Jawa dan Bali untuk dipadukan dengan seni teater Barat. Dalam menggambarkan tokoh Yulia, Sitor bahkan secara gamblang sudah menjelaskan definisi feminisme versinya.
“Ia juga bukan seorang feminis, karena ia sudah biasa hidup dan bekerja sebagai rekan penuh dalam kelompok laki-perempuan tanpa diskriminasi yang terlebih dimungkinkan pergaulan seniman seperti yang dia alami.” (hlm. 154)
“Coretan Yulia malah ‘kejantan-jantanan’ dalam pengamatanku. Sublimasi? Pasti Yulia seorang “bebas”, tanpa jadi seorang sinis dan frustrasi tentang kebetinaannya dan kejantanan, sebagai dua hal yang dipertentangkan mutlak oleh generasi baru di antara kaum feminis di Eropa.” (hlm. 160)
Cara Sitor menciptakan tokoh-tokoh perempuannya, merefleksikan sudut pandang dia terhadap relasi perempuan-lelaki yang sampai hari ini masih menjadi perdebatan seru. Bagi saya, Sitor sudah melampaui isu tersebut. Sitor tidak terjebak dalam cara pandang male-gazed (bisa jadi diadopsi pula secara tak sadar oleh pengarang perempuan yang terhegemoni) yang mendeskripsikan perempuan melulu dengan kata-kata ‘payudara’, ‘pinggul ramping’, ‘tubuh sintal’, ‘emosional’, ‘tangis’, dan ‘lemah’. Sitor, dengan lembut, menampilkan tokoh perempuan tanpa aneka stereotype tersebut.
Benar belaka bila Sitor Situmorang disebut sebagai seorang “pujangga pemikir”. Cerpen-cerpen Sitor menunjukkan bahwa ia, selain memahami manusia dengan segenap hasrat, impian, dan ketakutannya, juga lihai memainkan gaya bertutur sehingga cerita-ceritanya tak hanya berisi plot dan alur, melainkan selalu mengandung suatu wacana yang lebih luas. Sitor adalah jenis sastrawan yang mampu berpikir lebih besar dari dirinya sendiri. Dan ini terlihat baik dalam jalan hidupnya, maupun cerita-cerita yang ditulisnya.
Karya Baru
Sitor Situmorang pertama-tama saya kenal sebagai penyair, alih-alih cerpenis. Saya lupa persisnya di mana saya temukan puisi Sitor—mestinya bukan di bangku pelajaran Bahasa Indonesia, sebab setiap guru kami membicarakan sastrawan angkatan ’45, nama yang disebut selalu Chairil Anwar, Rivai Apin, atau Asrul Sani. Kami tak pernah disuruh menghafalkan puisi Sitor, atau memperbincangkan maknanya, seperti yang kami lakukan dengan Chairil Anwar dan puisi-puisinya. Dalam buku pelajaran di zaman Orde Baru, memang agak sulit membayangkan nama sastrawan seperti Sitor, yang secara terbuka bersikap “anti-Soeharto” dan pernah dipenjara delapan tahun di Gang Tengah Salemba (1967-1975) tanpa peradilan, disebutkan secara terbuka dan dipelajari secara mendalam.
Siapa sangka, Sitor kemudian memainkan peran yang cukup penting dalam upaya saya menulis cerita. Empat tahun lalu saat sedang berkutat menyelesaikan naskah novel pertama, yang ketika itu masih berupa ide kasar, entah mengapa saya teringat pada Sitor Situmorang dan puisi-puisinya. Pencarian di dunia maya membawa saya pada puisi “Surat Kertas Hijau”, yang diterbitkan tahun 1953, dan secara kebetulan adalah kumpulan sajak pertamanya.
Bunyi puisi itu begini:
Segala kedaraannya tersaji hijau muda
Melayang di lembaran surat musim bunga
Berita dari jauh
Sebelum kapal angkat sauh
Segala kemontokan menonjol di kata-kata
Menepis dalam kelakar sonder dusta
Harum anak dara
mengimbau dari seberang benua
Mari, Dik, tak lama hidup ini
Semusim dan semusim lagi
Burung pun berpulangan
Mari, Dik, kekal bisa semua ini
Peluk goreskan di tempat ini
Sebelum kapal dirapatkan
Bagi saya yang dilahirkan pertengahan tahun 1980-an, banyak kata dalam puisi itu yang sebenarnya tak familiar, misalnya ‘sonder’. Sedangkan kata-kata seperti ‘kedaraan’, ‘kemontokan’, dan cara panggil ‘Dik’, membuat saya agak geli karena puisi ini terasa datang dari suatu zaman yang asing. Tapi, segalanya berubah pada bait ‘semusim, dan semusim lagi’.
Ada yang merekah di hati usai membaca kalimat itu, yang bagi saya bicara begitu banyak. Sekonyong-konyong dalam kepala ini berenang-renang suatu gagasan cerita, tentang seseorang yang mencari apa yang paling penting dan hakiki dalam kehidupannya. Dalam pencarian itu, ia pasti mengalami berbagai hal yang akan mengubah hidup, sampai pada titik paling ekstrim. Meski demikian, sesulit apapun keadaan, ia akan tetap menjalaninya dengan perasaan penuh harapan—sebab bagaimanapun susahnya hari ini, hari esok akan membawa musim yang lain. Lalu “..semusim, dan semusim lagi.”
Novel perdana itu pun jadilah. Tanpa malu-malu, saya comot bait dari puisi Sitor yang istimewa itu sebagai judul. Sastrawan Seno Gumira Ajidarma dalam endorsement-nya menulis, yang paling menarik adalah bagaimana pengarang memindahkan bait dari puisi Sitor menjadi suatu cerita yang sama sekali terlepas dari konteks puisi. Ini persis dengan puisi Sitor “Malam Lebaran”, yang diangkat menjadi film “Bulan di Atas Kuburan” oleh sutradara Asrul Sani. Puisi Sitor telah menghasilkan karya-karya yang bukan sekadar adaptasi, melainkan karya baru.
Saya kira, inilah kekuatan Sitor yang paling dahsyat, baik sebagai penyair maupun cerpenis. Alih-alih teks mati, karya Sitor punya daya menantang pembaca untuk menciptakan sesuatu yang lain sama sekali. ***
Andina Dwifatma mengarang novel “Semusim, dan Semusim Lagi” (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2013). Paper ini adalah bahan diskusi buku “Ibu Pergi ke Surga” (Depok: Komunitas Bambu, 2015) karya Sitor Situmorang, di Freedom Institute, 28 April 2015.
Kalau ingin mendapatkan buku ini, apakah di Gr*medi* dijual Kak?
ReplyDeleteAnon1
Wah, kurang tahu. Sebaiknya langsung kontak Penerbit Komunitas Bambu saja. Tinggal transfer, buku dikirim.
ReplyDeleteTerimakasih Ndin untuk infonya. Saya kadang heran kamu dapat buku dari mana saja. :)
ReplyDeleteAnon1.
@Anon1: Sama-sama. Kadang aku merasa, buku yang menemukanku dan bukan sebaliknya.
ReplyDelete