Program Keluarga Berencana (KB) dulu terkenal dengan slogan "dua anak cukup, laki-laki perempuan sama saja".
Tapi, benarkah sama saja?
Kalau yang ditanya itu masyarakat Endonesa pada umumnyah, saya yakin jawabannya 'enggak'. Anak laki-laki dan perempuan enggak sama, dan enggak akan pernah sama. Coba saja, usai kunjungan dari dokter kandungan dan melakukan proses USG, pertanyaan orang-orang bukanlah "sehat nggak?" "tumbuhnya bagus nggak?" atau "organ-organnya lengkap nggak?", melainkan "cewek atau cowok?"
Pak Riswandi, supir taksi langganan yang tiap hari setia mengantar ke kantor, menanggapi pengumuman kehamilan saya begini,
"Wah, alhamdulillah, Mbak! Saya doakan anaknya laki-laki. Soalnya, ini kan anak pertama. Harus bisa jadi pelindung keluarga. Kalau di rumah lagi nggak ada orang, dia jadi ganti bapaknya. Susah Mbak, kalau anak pertama perempuan. Kita jadi nggak dipandang orang," serunya, lugas dan berapi-api (anaknya sendiri hanya seorang, dan perempuan).
Di bangku belakang, saya cuma bisa mengelus perut sambil senyum-senyum. Dalam hati saya bilang ke Subayi (nama panggilan gender-neutral yang saya dan suami berikan untuk janin kami), bapak ibunya akan tetap mendidiknya jadi orang yang bisa diandalkan, entah laki-laki atau perempuan.
Gambaran tentang anak laki-laki sulung memang menyenangkan, setidaknya bagi sebagian orang. Mungkin mereka membayangkan anak laki-laki sulung itu seperti tokoh Azzam di film Ketika Tasbih Bercinta Cinta Bertasbih: ganteng, sholeh, pekerja keras, sayang keluarga. Rela kuliah sambil jualan tempe untuk membiayai adik-adiknya. Hormat sama perempuan. Rajin menabung. Pandai mengaji.
Sini sini, main sama Mas.. |
Tapi itu di film. Pengalaman saya sendiri punya abang, beda sekali dengan sosok Mas Azzam. Abang saya orangnya doyan main, hepi-hepi, dan rada boros. Dengan Abang, enggak pernah tuh ada petuah-petuah hidup, nasihat, ataupun arahan (padahal kami beda empat tahun). Abang lebih seperti sosok teman main buat saya. Dia memperkenalkan saya pada Oasis, cerita, dan game PS sepakbola, tiga hal yang masih saya sukai sampai sekarang.
Di rumah, yang kebagian tugas bayar listrik, bayar cicilan, jemput adik, ambil rapor, dsb, selalu saya. Kenapa bukan Abang? Orangtua saya selalu beralasan, Abang orangnya cenderung ceroboh dan slebor. "Nanti takutnya dia lupa bayar listrik, rumah kita gelap," begitu kata Mama selalu.
Suami saya sebaliknya. Dia anak laki-laki pertama dari lima bersaudara. Adiknya empat ekor orang: dua laki-laki, dua perempuan. Suami saya adalah tempat bertanya adik-adiknya, sejak urusan kuliah sampai bikin NPWP. Dia juga yang mengurus segala hal di rumah, dari mulai kran bocor, roya sertifikat tanah, sampai mengantar adik-adiknya daftar sekolah.
Kebanyakan orang tua ingin anaknya berjenis kelamin tertentu karena bayangan mereka sendiri mengenai enaknya punya anak dengan jenis kelamin tersebut. Suami saya berkhayal anak pertamanya laki-laki karena ingin punya teman memancing dan cari belut di sawah pinggir rumah. Mungkin dia ingin mengulang masa kecil yang berbahagia, tapi tengsin sama tetangga kalau harus nyari belut sendirian. Sementara seorang teman ingin sekali punya anak perempuan supaya ada teman nge-mal dan dandan.
Meski berbeda, alasan-alasan itu punya benang merah yang sama: kepentingan orang tua.
Bagaimana kalau anak kami laki-laki dan ternyata dia lebih suka main catur atau komputer, dan nggak suka kegiatan luar ruangan? Bagaimana kalau anak kawan saya lahir perempuan tapi dia lebih tertarik jadi the next Ronda Rousey daripada nge-mal dan berdandan?
Minggu lalu kami mengintip Subayi melalui USG di usia kandungan 17 minggu 4 hari. Pertumbuhannya baik dan normal, tapi begitu dokter mau melihat jenis kelaminnya, janin kami menyilangkan kaki menutupi selangkangan, ekspresi wajah agak menyeringai, seolah berkata, "Rahasia, weeeek!" :P
Akhirnya terjadi kebingungan ketika menyapa janin dalam perut. Suami yang tadinya selalu memanggil janin kami dengan panggilan 'le' (dari kata 'thole' yang artinya anak laki-laki dalam bahasa Jawa) menjadi galau. Tapi mau dipanggil 'nduk' juga kurang pas kalau nanti ternyata dia laki-laki. Daripada bingung mau memanggil apa, diciptakanlah nama 'Subayi' itu tadi.
Kini saya dan suami jadi lebih tertarik membayangkan anak kami akan jadi orang yang seperti apa. Kira-kira bagaimana ya, kepribadiannya, bakatnya, minatnya, cita-citanya? Kami juga mulai memikirkan segala usaha yang perlu dilakukan untuk mendorong dia jadi versi terbaik dirinya sendiri: bahagia, berdaya, dan bijaksana.
berarti bakal banyak anak dong? Su: sugih (kaya). bayi: anak. apa pun, yang penting Subayi sehat. Itulah doa yg tak pernah basi. Kali ini tanpa Su hehehe
ReplyDeleteWah, Subayi ini jadi pilot project dulu Pak. Lihat aku berbakat nggak jadi orang tua, hahaha..
ReplyDeleteSelalu terhibur baca tulisan Ibu Andina. Kalau aku sih memang pgn (krn sdh pernah merasakan mengurus 2 keponakan perempuan) & feeling aja bakal anak ini berjenis kelamin laki-laki krn selama hamil gak 'menye-menye' a.k.a preman bgt gak suka dimanja pgn ini itu (beda bgt waktu sblm hamil). Kalau suami dr awal mmg pgnnya punya anak cowok. Tp lebih senang mendengar komentar orang yg merasa ahli tebak menebak jenis kelamin. Ada yg bilang 'hamil lo jelek Lin jerawatan pasti cowok anaknya' Ada lg yg bilang bentuk perutnya melebar pasti cewek anaknya' Gw sih ketawa aja lucu dgr komentar2 mereka hehe yg penting sehat semua ya :)
ReplyDeletePaling geli kalau denger orang nebak jenis kelamin dari bentuk perut. Aku sama sekali nggak bisa bedain perut membulat dan melonjong, soalnya perasaan perut orang hamil sama-sama aja, hahaha..
ReplyDeleteHamil ini aku juga 'preman' Lin, ke kantor masih naik kereta PP, kerja seperti biasa, males dandan, jadi kusem. Banyak yang nebak cowok, tapi ayahku dan bapak mertua malah yakin cewek. Selama hamil ini aku seneng lihat anak kecil cowok, kayaknya kok lucuuuu :)) Ah tapi apa aja lah, dikasih karunia hamil aja udah alhamdulillah...
Selamat ya bu.. Semoga lancar kehamilannya.. :)
ReplyDeleteTerima kasih doa baiknya :)
ReplyDelete