Kedatangan saya di kamar bersalin RS Hermina Ciputat, Sabtu (16/4) malam, mengejutkan banyak pihak. Soalnya, pagi hari itu saya masih kontrol syantik ke dr. Astri Diah SpOG(K) di usia kehamilan 37 minggu. Seorang suster yang mengenali saya menimpali, "Wah, Ibu bajunya masih yang tadi pagi ya?"
Saya cuma nyengir. Boro-boro ngurusin baju--malam itu saya bersalin cuma bawa dompet dan hape. Benar-benar mahmud koboy.
Episode melahirkan ini di luar rencana.
Sepanjang usia kehamilan 9 bulan, baru hari Sabtu itu saya memperoleh kabar kurang baik tentang Subayi. Plasenta sudah bolong-bolong (yang artinya sudah tidak maksimal lagi dalam mengantar nutrisi untuk Subayi), air ketuban sudah sangat sedikit (skor normal 10, punya saya tinggal 6), dan berat badan janin rendah (kemungkinan karena kondisi plasenta yang sudah tidak beres itu). Plus Subayi ada lilitan satu kali di leher. Untunglah longgar.
dr. Astri meminta saya banyak-banyak makan es krim dan minum air putih tiga liter per hari. Tiga hari lagi, saya diminta kembali konsultasi.
"Kalau tidak ada pertambahan volume air ketuban, malamnya kita langsung tindakan," kata dokter kesayangan dengan muka cemas.
'Tindakan' yang dimaksud adalah operasi caesar. FYI dr Astri adalah dokter paling cool dan enggak panikan sedunia, jadi kalau sampai beliau bermuka cemas, sudah pasti situasinya tidak baik. Dan beliau sangat pro kelahiran normal. Dari awal kami sudah janjian untuk mengambil pisau operasi sebagai pilihan terakhir.
Saya sok jaim. Mencoba terlihat optimistis. Enggak mau tampak panik karena toh datang cuma sendiri. Mau nangis manjadi bahu satpam Hermina rasanya se666an. Lebih baik mikir beli Haagen Dasz di mana yang bisa langsung literan. Rasa coklat atau karamel ya, otak saya setengah mati mencoba mencari pengalihan.
Tapi di mobil, pertahanan saya runtuh. Saya nangis sejadi-jadinya. Kuatir setengah mati dengan Subayi. Mempertanyakan ke mana perginya air ketuban, mengingat saya nggak pernah merasa rembes atau basah berlebihan di celana dalam. Dan plasentanya kok bolong-bolong gitu sih? Perasaan selama 9 bulan si ari-ari selalu terpantauramai lancar baik-baik saja.
Di pikiran saya: peluang tipis Subayi bisa bertahan.
Malamnya, Mama ngajak mengaji Surat Ar-Rahman dengan potongan ayatnya yang terkenal itu: maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan.. Yah walaupun di ayat itu ngomongin tentang bidadari, tapi saya lumayan bisa meresapi. Iya, kalau Subayi masih jodoh untuk jadi anak saya, masih rezeki saya untuk saya besarkan, dia enggak akan kemana-mana..
Habis shalat Isya', dan menangis haru dalam doa bersama Mama, saya.... pup.
Lalu minum banyak air sesuai anjuran dr. Astri.
Nggak sampai lima menit, pup lagi.
Lalu mules.. mules.. mules.. Padahal pup sudah terkuras semua. Saya mulai meringis-ringis. Mama menelepon dr. Astri. Instruksi didapat: segera ke RS, cek CTG untuk ukur denyut jantung janin, dan cek bukaan.
Jam 21.00 WIB saya diantar Mama dan adik ke RS. Tiga Kartini tangguh. Suami lagi dinas ke Surabaya dan Ayah masih di Ternate. Supir Mama pas lagi libur pula.
Jam 23.00 WIB cek CTG selesai. Denyut jantung Subayi masih mantap. Dan dicek bukaan, masih belum ada. Oke cus pulang. Saya izin pipis dulu ke suster,
Begitu duduk, pyurrr, air kecoklatan keluar dari vagina.
Ketuban saya pecah.
Saya cuma nyengir. Boro-boro ngurusin baju--malam itu saya bersalin cuma bawa dompet dan hape. Benar-benar mahmud koboy.
*
Episode melahirkan ini di luar rencana.
Sepanjang usia kehamilan 9 bulan, baru hari Sabtu itu saya memperoleh kabar kurang baik tentang Subayi. Plasenta sudah bolong-bolong (yang artinya sudah tidak maksimal lagi dalam mengantar nutrisi untuk Subayi), air ketuban sudah sangat sedikit (skor normal 10, punya saya tinggal 6), dan berat badan janin rendah (kemungkinan karena kondisi plasenta yang sudah tidak beres itu). Plus Subayi ada lilitan satu kali di leher. Untunglah longgar.
dr. Astri meminta saya banyak-banyak makan es krim dan minum air putih tiga liter per hari. Tiga hari lagi, saya diminta kembali konsultasi.
"Kalau tidak ada pertambahan volume air ketuban, malamnya kita langsung tindakan," kata dokter kesayangan dengan muka cemas.
'Tindakan' yang dimaksud adalah operasi caesar. FYI dr Astri adalah dokter paling cool dan enggak panikan sedunia, jadi kalau sampai beliau bermuka cemas, sudah pasti situasinya tidak baik. Dan beliau sangat pro kelahiran normal. Dari awal kami sudah janjian untuk mengambil pisau operasi sebagai pilihan terakhir.
Saya sok jaim. Mencoba terlihat optimistis. Enggak mau tampak panik karena toh datang cuma sendiri. Mau nangis manja
Tapi di mobil, pertahanan saya runtuh. Saya nangis sejadi-jadinya. Kuatir setengah mati dengan Subayi. Mempertanyakan ke mana perginya air ketuban, mengingat saya nggak pernah merasa rembes atau basah berlebihan di celana dalam. Dan plasentanya kok bolong-bolong gitu sih? Perasaan selama 9 bulan si ari-ari selalu terpantau
Di pikiran saya: peluang tipis Subayi bisa bertahan.
Malamnya, Mama ngajak mengaji Surat Ar-Rahman dengan potongan ayatnya yang terkenal itu: maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan.. Yah walaupun di ayat itu ngomongin tentang bidadari, tapi saya lumayan bisa meresapi. Iya, kalau Subayi masih jodoh untuk jadi anak saya, masih rezeki saya untuk saya besarkan, dia enggak akan kemana-mana..
Habis shalat Isya', dan menangis haru dalam doa bersama Mama, saya.... pup.
Lalu minum banyak air sesuai anjuran dr. Astri.
Nggak sampai lima menit, pup lagi.
Lalu mules.. mules.. mules.. Padahal pup sudah terkuras semua. Saya mulai meringis-ringis. Mama menelepon dr. Astri. Instruksi didapat: segera ke RS, cek CTG untuk ukur denyut jantung janin, dan cek bukaan.
Jam 21.00 WIB saya diantar Mama dan adik ke RS. Tiga Kartini tangguh. Suami lagi dinas ke Surabaya dan Ayah masih di Ternate. Supir Mama pas lagi libur pula.
Jam 23.00 WIB cek CTG selesai. Denyut jantung Subayi masih mantap. Dan dicek bukaan, masih belum ada. Oke cus pulang. Saya izin pipis dulu ke suster,
Begitu duduk, pyurrr, air kecoklatan keluar dari vagina.
Ketuban saya pecah.
*
"Jadi enggak bawa baju ganti nih, Bu?"
"Enggak Sus, di tas saya cuma ada mp3 player sama buku." Bukunya novel O karya Eka Kurniawan lho Sus, saya terpikir menambahkan detail enggak penting.
"Enggak Sus, di tas saya cuma ada mp3 player sama buku." Bukunya novel O karya Eka Kurniawan lho Sus, saya terpikir menambahkan detail enggak penting.
"Suaminya suruh ngambilin aja."
"Suami saya masih otw dari Surabaya."
"Jadi cuma berdua sama Mama?"
"Iya Sus."
"Iya Sus."
"Nggak papa, ditemani ibu pasti bisa..."
Setelah ketuban pecah, diperiksa dalam ternyata sudah bukaan 4. Saya didorong ke kamar bersalin. Tak perlu menunggu lama, satu jam kemudian sudah bukaan 5. Jam 1 pagi, sudah bukaan 8.
Setiap kontraksi datang, saya menggigit handuk, memeluk pinggang Mama erat-erat, sambil kadang menjerit manja kalau lagi hilang kontrol. Di atas bukaan 8, sakitnya #$)#&$@#*&_*!*U$_*&_!!!! Ini kalau ada yang bilang "melahirkan tanpa rasa sakit" sini saya gigit jempolnya. Di pikiran saya waktu itu: saya mau mati. Saya teriak-teriak minta ngeden. Tentu saja tidak diizinkan sebelum bukaan 10, kalau tidak mulut rahim bisa bengkak.
Jam 1.30, dr. Astri datang. Mukanya ngantuk sekaligus kaget kok sudah mau lahiran. Saya diajari cara ngeden on the spot: kaki diangkat, ditekuk, tangan di lipatan paha, ngeden seperti mau pup, jangan ngeden di leher...
Yayayayaya---pokoknya mau ngeden! Mau ngeden! Mau ngedeeeeeeeeen!
Gelombang kontraksi datang. Saya ngeden sekeras-kerasnya. Dua kali. Lalu terdengar suara tangisan OWEEEEEEEEEEK super kencang. Saya serasa masih di awang-awang. Mama langsung sigap mengurus Subayi si cucu baru. Menurut Mama, kelar dilap dan diperiksa, Subayi langsung menatap Nenek dengan matanya yang belo itu.
Hmmm.. sudah kuduga |
Kami menamainya Amanina Latif. Amanina artinya "harapan kami" dan Latif dari nama belakang bapaknya. Panggilannya Nina. Bapaknya baru dapat tiket pesawat pagi, jadi Nina diazani oleh kakak saya. Dia cerita, waktu diazani, tangan Nina meraih hidung pakdenya itu, seperti hendak berkata "ah bukan babe gue nih" hehehe.
Halo, Nak. Selamat datang di dunia. Izinkan kami merawat dan membesarkan kamu, ya... Cepatlah besar sehingga kita bisa merasakan banyak keseruan bersama.
Selamat Mbak, doain cepet nyusul punya anak nih. Udah 1,5 tahun nikah belum dikasih, semoga tahun ini...
ReplyDeleteSukses selalu...
Aww, such a pretty girl. Congrats Andin! Semoga Nina jadi anak yang bahagia dan papa-mamanya juga bahagia :))
ReplyDelete@Irham Thariq: Makasih mas! Tenang aja, anak itu ada waktunya masing-masing. Saya nunggu 4 tahun baru dikasih :)
ReplyDelete@Jessica Huwae: Ah, trims kak! Amiin, nanti Nina ikutan nongkrong sambil ngobrol buku bareng kak Jessica ya, hehe..
ReplyDeleteHai kaka...aku ngefans sejak kamu nulis Semusim... barakallah atas kelahiran Nina, semoga dia bisa secerdas ibunya. amin.
ReplyDelete@Pramudya Utari: Duh, makasih yaa sudah baca! Sampai jumpa di novel-novel selanjutnya :) Terima kasih juga utk ucapannya buat Ninaku.
ReplyDeleteAhahahahahaha, Andiiiiiiiiiin. Lucu banget! :')
ReplyDeleteSalam kenal, Dek Nina :*
Pengen ngeden trus ga boleh tuh juara bgt yaaaa!!! Pengen gw tabok susternya. Hahahaa
ReplyDelete@NPDKM: Hihi, trims Tante Michelle, salam kenal juga dari Nina :)
ReplyDelete@Aprizya: Bokkk, emosi bener pas ni bayik udah di ujung tanduk, masih aja dibilang "jangan ngeden dulu ya bu, tunggu aba-aba" NGGAK BISA DITAHAN, MALIH~
ReplyDeleteSelamat mbak... Saya tunggu kelahiran novelnya juga
ReplyDeleteInsya Allah tahun 2018 keluar Mas. Dibeli ya!
DeleteMba..boleh saya di share no tlp Dr. Astri? Kebetulan saya sebelumnya di RS Puri Cinere, namun karena ada beberapa hal saya di rujuk ke RS Hermina Ciputat, namun Dr Astri baru aktif tanggal 29 Sept 2017. Saya mau hubungi Dr. Astri tidak ada contactnya krn tidak diberikan sm pihak RS..saya ingin konsultasi terlebih dahulu. Terima kasih sebelumnya Mba.
ReplyDeleteMas Irvan, maaf saya enggak bisa share nomor HP beliau tanpa persetujuan ybs. Coba langsung dateng aja Mas. Saya dulu juga enggak pernah japri dulu kok.
Delete