Yang Fana Adalah Mulyono, Perjuangan Abadi

Akhir-akhir ini aku suka keluar malam. Jalan kaki sambil menikmati lagu, atau kadang mendengarkan isi kepala sendiri. Melamun, melamun, melamun... tahu-tahu sampai stasiun. Sesekali duduk di bangku sambil meminum air dari botol dan melihat orang berlalu-lalang. Trik ini kupelajari dari Aulia: kalau perasaan sedang tidak karuan, coba pergi ke tempat ramai orang berkegiatan. Pasar. Terminal. Stasiun. Denyut kehidupan mustinya membuatmu sadar bahwa kamu tidak menderita sendirian. Tapi trik ini tidak berhasil untukku selama di sini. Mungkin karena stasiun yang kudatangi itu Carnegie yang rapih, bukan Parung Panjang atau Cilebut yang semrawut. Mungkin juga karena jenis derita orang-orang Melbourne tidak membuatku merasa senasib.

Di Jakarta aku juga jalan kaki, tapi bukan untuk kenikmatan. Berjalan kaki di Jakarta adalah sebuah tantangan tersendiri; pertarungan hidup-mati yang menuntutmu lihai melompat dan menghindar agar tidak terluka. Di Jakarta aku jalan kaki karena harus, bukan karena ingin. Baru ketika berkesempatan tinggal agak lama di Melbourne inilah aku memahami jalan kaki bisa meditatif. Jalur pejalan kaki ditata sedemikian rupa sehingga mudah dinavigasi. Di lampu merah ada tombol khusus supaya aman menyeberang. Sesekali ada bangku untuk ngaso melepas lelah. Kadang aku jalan begitu jauhnya, tenggelam dalam kepalaku yang riuh, dan tahu-tahu terdampar di area yang tak lagi familiar. Keluyuran begini efektif untukku mengurai pikiran yang kusut.

Efek berjalan kaki terhadap kemampuan otak dalam memecahkan masalah, sudah banyak diteliti orang. Saat kita berjalan kaki, jantung bekerja lebih cepat, mensirkulasikan lebih banyak darah dan oksigen ke seluruh bagian tubuh, termasuk otak. Teratur berjalan kaki konon juga membuat sel-sel otak kita lebih mudah terhubung, dan merangsang terbentuknya syaraf-syaraf baru. Itulah mengapa kadang kita memperoleh suatu gagasan, atau jawaban, setelah jalan kaki. Dalam kasusku, meskipun tidak selalu mendapat solusi yang kucari, setidaknya saat pulang jalan kaki aku merasa jauh lebih baik, 

Salah siapa di Indonesia kita tidak bisa begini? Tentu saja salah pemerintah.

Dulu di Twitter pernah ada netizen cerita, karena baru pulang dari luar negeri, dia masih terbawa semangat berjalan kaki. Suatu siang, dia harus pergi dari satu lokasi ke lokasi lain di Jakarta yang jaraknya hanya sekitar satu kilometer. Mengabaikan saran naik ojek saja agar praktis, ia memutuskan berjalan kaki. Lebih sehat dan hemat. Tak pernah terbayangkan olehnya, satu kilometer di Jakarta, dengan trotoar yang bolong-bolong dan sinar matahari yang membuatmu merasa sudah separuh jalan menuju neraka, adalah sebuah siksaan yang tak main-main. Pada akhirnya, kawan kita ini tiba di lokasi dalam keadaan bersimbah keringat. Dia terpaksa mampir ke pusat perbelanjaan dan membeli pakaian baru, yang tentu saja harganya lebih tinggi dari ongkos ojek!



Photo by 
Roman Warren on Unsplash

Trotoar yang layak bagi pejalan kaki, perasaan aman keluyuran tanpa takut dibegal atau di-cat call, akses menyeberang yang aman, ramp untuk pengguna kursi roda, area hijau terbuka, bangku taman untuk melepas lelah--semua itu adalah hak kita sebagai warga negara, bersama dengan kebutuhan dasar lainnya seperti pendidikan berkualitas, udara bersih, transportasi massal. Jika penguasa tidak becus menyediakan itu semua, kita harus paksa mereka. Jika tidak bisa juga, atau tidak mau, ganti dengan yang bisa dan yang mau.

Paragraf barusan kutulis dengan semacam campuran antara rasa kecut dan berani. Kecut, karena toh pada kenyataannya saat ini kita sedang dikuasai sekelompok orang yang kelebihannya hanya culas dan tahan malu. Arah penggantinya pun masih misteri, walau pun rekam jejaknya sungguh tidak wangi. Kadang aku ingin ikut arus pesimisme yang mengatakan Indonesia tidak punya harapan, sebaiknya bubar, dan seterusnya. Tapi, coba lihat ke kanan dan kiri kita. Lihatlah tetangga kita, kawan-kawan kita, teman-teman online kita yang lucu-lucu dan pintar-pintar itu. Lihatlah orang-orang yang berdemonstrasi mengawal Putusan MK lalu. Lihatlah pedagang-pedagang yang menggratiskan makanan, ibu-ibu rumah tangga yang membawa air galon dan gelas plastik untuk mahasiswa yang sedang berdemo, kaum buruh dan mas-mbak SCBD yang orasi dengan logat Jaksel. Pantaskah Indonesia kita vonis mati?

Kata Iwan Simatupang dalam bukunya, Merahnya Merah (1968), "Kali ini kalah, besok coba lagi. Kalah lagi, lusa coba lagi - sampai pernah menang! Apa sejarah bakal terus-terusan kontra kita?"

Pertanyaannya: bila sejarah ternyata terus-terusan kontra kita, apa kita sebaiknya menyerah saja? Apakah sesuatu hanya layak diperjuangkan jika sudah dijamin menang? Barangkali yang terpenting bukan persoalan kalah-menang secara mutlak. Sesekali kalah, sesekali menang. Kalah lagi, coba lagi. Menang sedikit, kalah agak banyak, coba lagi. 

Sebab yang fana adalah Mulyono, perjuangan abadi.

No comments